Kamis, 25 September 2014

HENINGNYA CINTA BADAI Part 2

--------- NOVEL BERSAMBUNG --------- ----- HENINGNYA CINTA BADAI ------- ---- Part 2 ---- ----- Oleh : Kundrat Kanda Permana-----. Selama ini, aku merasa nyaman dengan statusku sebagai penganggur banyak acara. Tak ada yang membuatku merasa minder ataupun terpuruk, malah sebaliknya aku merasa percaya diri, bagaima tak merasa nyaman, tanpa harus repot-repot kerja aku bisa mendapatkan uang untuk berbagai keperluan. untuk maintenan mobil, beli bensin, nongkrong di kafe, main bilyard juga untuk beli baju yang keren. aku tak mempunyai penghasilan yang tetap, tapi tetap berpenghasilan.Terbayang olehku betapa menderitanya jika aku harus bangun pagi, naik angkutan umum yang sesak, duduk di meja kantor berurusan dengan kertas dan benda mati lainya, trus pulang sore dengan badan lelah. Kapan aku akan menikmati hidup, jika setiap hari melakukan rutinitas yang sama setiap hari, betapa membosankan hidup normal seperti itu. Jika normal itu artinya harus berkemeja setiap pagi dan menggantungkan benda tak berguna bernama dasi di leher, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu artinya Aku harus memakai seragam kerja dan menghabiskan hari-hari tanpa mencapai impian hidup, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu artinya aku harus terpaksa mengatakan "I like Monday" padahal hatiku tak menyukanya, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu artinya seseorang harus tiba-tiba duduk sopan dan pura-pura mengetik karena ada Bos, padahal sedang melihat gosip baru tentang video panas PNS yang menghebohkan, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu harus berdiri terpanggang di bis kota layaknya sauna berjalan, maka aku tak perlu menjadi normal. Biarlah aku seperti ini, toh tetangga kossanku yang kerja di bank, dia berkata jujur bahwa dia kepingin seperti aku, karena sebagai Teller dia bosan harus pura-pura ramah dan barkata sopan kepada nasabah, padahal hatinya sedang galau. Apalagi gajinya tak cukup untuk membeli baju, sepatu, dan gedget terbaru yang diimpikannya. Ya para pemilik modal memang kejam, seorang pengusaha scure parking yang dari satu mall saja bisa meraup ratusan juta perbulan cukup menggaji karyawan delapan ratus ribu, padahal dia bekerja di kotak pengap ukuran 1x1 meter yang berada di basement yang panas. Begitu juga dengan tetangga di kampungku, sebagai buruh pabrik di salah satu produsen sepatu terkenal, dia hanya diberi bayaran lima ribu perak per sepatu, padahal sepatu itu ditoko, di bandrol dengan di atas satu juta. Atau mungkin Sartiyem pembantu asal kebumen, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah megah di menteng. Tugas Sartiyem cukup banyak, dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, belanja ke pasar dan kadang mengurus anak tuanya yang kecil. Tenaga Sartiyem itu hanya dihargai tujuh ratus ribu rupiah, Sedangkan Anak tuaanya sekali minta jajan, bisa mencapai dua juta. Ya di negri ini gaji pembantu sangat murah, tak seperti di eroipa, di inggris misalnya orang yang memiliki pembantu hanya para bangsawan saja, meskipun rumahnya besar, orang biasa jarang memiliki pembantu, karena mahalnya gaji pembantu, tak seperti di negri ini, Orang yang tinggal ngontrak di rumah type 36 saja sudah bisa memiliki pembantu. Sekali lagi tak ada yang membuatku merasa salah dengan status pengangguran ini kecuali satu hal, aku pernah kehilangan cinta. Dulu aku pernah pacaran dengan seorang perempuan, bahkan aku sudah melamarnya. sempat dia mengatakan kepadaku, bahwa dia ingin kepastian untuk masadepannya, dia kecil dia hidup berkecukupan, tapi kedepan dia tak ingin sekedar cukup, dia ingin lebih dari sekedar itu. Dan aku yang di matanya hanya penganggur, sementara dia sudah bekerja, rasanya aku tak bisa diandalkan. Meskipunn pendapatanku lebih dari penghasilanya, itu tak membuat dia yakin, bahwa aku akan memenuhi impiannya. Kata temanku perempuan memang seperti itu, dia butuh hal yang pasti, perempuan tak bisa diajak berjudi dengan masadepan. Perempuan akan lebih merasa tenang jika calon suaminya adalah lelaki yang bekerje dan berseragam, apakah itu polisi, tentara, PNS atau pekerja Bank. kali itu aku tak berhasil meyakinkan bahwa lelaki jangan dilihat dari benda apa yang dipunyainya hari ini, tapi spirit apa yang ada di pikiranya. Meskipun orangtuanya bisa menerimaku, meskipun aku tlah melamarnya, akhirnya cintaku pun hancur berkeping, seperti pesawat yang dihantam missil. Jelas terasa sakit dan pedih, bahkan jika kepedihanku itu ditimpakan kepada siang, seketika dia kan berubah jadi malam. Yang membuat sakit bukanlah aku kehilangan cinta, tapi aku kehilangan harga diri, aku merasa menjadi orang lelaki yang tak berguna. Setelah pertemuan terakhirku denganya yang bagiku tampak baik-baik saja dan tak ada apa-apa, aku pun pulang ke jakarta. tak terpikir olehku dua hari kemudian dia memutuskanku lewat SMS seperti yang dilakukan mantan bupati Garut. Tahukan kata-kata apa yang paling menyakitkan dalam kisah cinta? ya kata itu ialah "kata perpisahan'" yang dia tidak sempat mengatakanya, tapi hatimu merasakannya. Saat itu aku berkata dalam hati "suatu saat aku aan tau siapa kamu, dan kamu akan tau siapa aku". Walaupun begitu, dalam keterpurukan aku masih bisa menyombongakn diri, bagaimana mungkin seorang perempuan asal kampung berani mencampakan lelaki yang penuh dengan pengalaman hidup? Dulu aku pikir orang kampung tak seperti orang kota yang katanya matre, ternyata benar kata temanku, bahwa orang kampung juga sekarang nonton TV, wanita kampung juga butuh perawatann agar terlihat cantik. Ya begitulah kisah cintaku selalu berakhir tragis, saat bibir harapan mulai tersenyum padaku, selalu saja ada sumur di depan yang membuat segala impianku terjatuh kedalamnya. hampir semua mantan pacarku kini sudah menikah dan beranak-pinak, sementara aku masih tetap meronta dalam kesendirian yang mengerikan, serupa ahasvaros yang dikutuk sumpah eros. Satu hal yang membuatku bertahan, itu bukanlah kali pertama cintaku hancur, aku sudah banyak belajar dalam derita, hingga aku tak menjadi gila seperti caleg yang gagal menjadi wakil rakyat. Aku cukup waras untuk menyadari perbedaan cara pandang lelaki dan perempuan yang berbeda. Aku cukup waras untuk tidak menenggelamkanku dalam kubangan derita, karena biasanya seorang yang patah hati 30% sakit karena cintanya, tapi 70% sakit oleh dirinya sendiri. Bagaimana tidak, saat hati remuk orang mengganti tema blog, gedget disesuaikan dengan kelabunya hati, mendengarkan musik yang sama dengan keadaan hatinya, terang saja hati makin menderita. dan entah kenapa saat hati terluka, banyak syair lagu yang jadi begitu bermakna dan mengena ke hati, padahal sebelumnya dianggap biasa-biasa saja. Untuk saja waktu itu aku tidak mendengarkan lagu "gloomy Sunday" lagu yang banyak menimbulkan orang bunuh diri

HENINGNYA CINTA BADAI

NOVEL BERSAMBUNG . . HENINGNYA CINTA BADAI. . Part 1. . Oleh : Kundrat Kanda Permana. . saat aku berkenalan dengan orang baru, selalu saja terlontar pertanyaan kenapa aku diberi nama Badai. Malah tak jarang juga yang menganggap aku orang karo sumatera utara, karena kebiasaan orang Karo saat mau memberi nama pada anaknya sering dihubungkan dengan kejadian atau hal lain yang berhubungan dengan moment kelahiran anaknya Seperti seorang mentri asal sana yang nama awalnya Malam Sabat atau disingkat MS karena lahir pada malam sabtu. Malah ada sebuah lelucon dimana seorang anak yang selalu dipanggil hey oleh teman-temanya. karena tak enak dengan panggilan itu akhirnya si anak komplai ke bapaknya. "Kenapa aku tak diberi nama pak?, aku gak mau dipanggil "Hey" oleh teman-temanku" sang bapak menjawab "nak, bukanya bapak tak mau memberimu nama, tapi bapak tak tega memberimu nama si "kondom bocor". ya itu hanya lelucon. Namaku Badai, nama yang tak ada hubungan dengan peristiwa apapun dengan kelahiranku, mungkin bapakku ingin namaku terdengar gagah, karena dalam berbagai bahasa hurup "B,G dan D" atau kata yang mengandung huruf itu selalu berkonotasi gagah dan besar. Dalam bahasa Indonesia ada kata "besar, gagah, digdaya", dalam bahasa Arab besar disebut "Kabir" dalam bahasa inggris "Big, Bold, Grand" dalam bahasa Francis dan itali "Grande" dalam bahasa sunda dan jawa "Gede" atau dalam bahasa india "Bare". Sebaliknya yang mengandung huruf "L,K dan T" banyak berkonotasi kecil dan payah. lihat saja kata ini, kecil, qolil, small, leutik, cilik, petit, piccolo, chote. Entahlah aku sendiri tak pernah bertanya pada bapakku, terlepas dari itu, perawakanku memang tinggi besar. Badai merupakan term yang memiliki konotasi kejam, dimana kehadiranya selalu diratapi orang, kedatangan badai berarti datangnya prahara yang meluluh-lantahkan semua yang ada. Badai tsunami dan badai catrina adalah contoh yang pas untuk menerangkan bagaimana kejamnya dia. Begitu juga bagi masyarakat padang pasir, kehadiran badai gurun merupakan ancaman serius, dia bisa merusak tenda-tenda kafilah bahkan membunuh hewan ternak yang mereka gembalakan. Badai bisa merusak sebuah kota dalam tempo beberapa menit. bahkan beberapa penyair atau penulis lagu pun tak ketinggalan memperkuat stigma kejamnya badai. kita mengenal judul lagu "badai biru' itje tisnawati , atau chryshe "badai pasti berlalu". Tapi untunglah perasaan subjektifku menganggap aku tak seperti itu. Aku lelaki yang tak mengancam siapapaun, tapi justru sekarang muncul pemikiran bahwa aku ingin memiliki sisi bahaya. Aku lihat orang-orang hebat yang kerap muncul dalam catatan sejarah adalah orang-orang yang memiliki daya gedor dan sebuah daya ancaman. Seperti Jhon F kenedy yang mati ditembak gara-gara menolak undang-undnag perbankan yang menguntungkan segelintr bankir elit. Tapi tentunya juga aku tak boleh jadi ancaman bagi orang ataupun sistem yang baik. Aku dilahirkan sebagai anak seorang guru honorer di madrasah swasta di kampung yang tak perlu ditanya lagi berapa besar honornya, meskipun hari-harinya dihabiskan di sekolah dengan jam mengajar terbanyak di sekolahnya, tetap saja gaji bapakku takan bisa menyamai teman mengajarnya yang jadi PNS. Walaupun begitu, bapaku tak pernah iri ataupun menggerutu, karena baginya mengamalkan ilmu itu wajib, kalau tak diamalkan itu jadi sesuatu yang mubadzir, dan tentunya orang mubadzir itu temanya syetan, begitulah yang ada di pikiran bapakku. Sementara Ibuku seorang ibu rumah tangga. satu-satunya anak perempuan dari kakek-neneku. Sebagai anak seorang kyai, tentunya Ibuku menghabiskan waktu mudanya dengan mengaji. hal itu pula yang mendasari ibuku mengharuskanku untuk bisa mempelajari berbagai kitab kuning. Bahkan saking seriusnya, ibu sering memarahiku saat aku salah membaca, salah membaca kata sambung pun aku harus mengulanginya sampai aku menuturkanya tepat seperti yang dajarkan ibuku. karena tiap hari aku mengulanginya, akupun bisa membaca arab gundul dengan terjemahanya, meskipun waktu itu aku tak memahaminya. Banyak istilah kolot yang jarang lagi digunakan oleh orang-orang seangkatanku, aku ingat pula ada materi fikih di kitab kuning yang sama sekali sudah usang dan takan ditemukan lagi prakteknya di planet ini, yatiu cara membersihkan kotoran dengan batu, apalagi kalau mencari batu yang sudutnya tiga. Beruntunglah Ibuku yang mempunyai tanah warisan yang cukup dari kakekku, tanpa itu meungkin aku tak dapat mengenyam pendidkan di universitas, karena penghasilan bapakku hanya cukup tuk beli kebutuhan pokok sehari-hari. Ibuku sangat peduli denganpendidikan anaknya, hingga ia rela menjual sebahagiaan tanahnya tuk menguliahkanku. Al hasil akupun berhasil menamatkan kuliah di Jakarta. Seperti kebanyakan sarjana di negri ini, titel sarjana bukanlah jaminan seseorang bisa mendapatkan kerja dengan mudah. dua tahun setelah kelulusanku, aku masih saja jadi pengangguran, walaupun ini bukanlah sesuatu yang menyiksa buatku, karena aku bisa mendapatkan uang dari apa saja tanpa harus kerja. Selepas kuliah aku sempat melamar kerja ke beberapa instansi, namun siapa yang mau menerima sarjanan filsafat? pabrik-pabrik, perusahaan kontruksi, perbankan apalagi perusahaan tambang tak ada yang butuh sarjanan filsafat. Mereka butuh seorang ahli gambar, acounting atau ahli perminyakan, bukan orang yang hanya bisa ngomongin Plato, Descartes, ataupun Mulasadra. Jangankan filsafat, banyak temanku yang sarjana ekonomi, sarjana tehnik dan sarjana pendidikanpun sama-sama sulit mencari pekerjaan, meskipun di negri ini sekolah ada dimana-mana, meskipun negri ini getol membangun infrastruktur ekonomi dari uang pinjaman luar negri. Ya di negri ini terlalu mudah orang membuat sekolah dan perguruan tinggi, izin dikeluarkan tanpa melihat keluaran yang dibutuhkan di negri ini. di negri agraris yang memiliki lahan subur, negri yang memiliki hutan luas sebagai paru-oaru dunia, di negri bahari yang memiliki pantai terpanjang ini, berapa kita memiliki sekolah kelautan, sekolah pertanian dan kehutanan. tiap tahun di satu kabupaten saja berbondong-bondong sarjana pendidikan yang ngantri tuk jadi pengajar yang berstatus PNS, padahal pemerintah hanya menerima beberapa puluh saja, itupun harus mengakomodir guru honorer yang sudah lama masuk waitting list. Keanehan lain di negri ini ialah banyaknya pegawai yang sama sekali tidak sesuai dengan bidang pendidikanya sewaktu di kuliah. Lihat saja jaringan perbankan dikuasai oleh sekelompok lulusan pertanian, sarjana teknik lulusan universitas terbaik di negri ini bergerombol di dunia politik, bahkan identitas almamater mereka menjadi salah satu geng politik tertentu. Dulu alasan itu cukup membuatku merasa tidak bersalah menjadi seorang penganggur, tapi kini aku punya alasan lain yang sedikit tampak lebih cerdas. Faktanya pendidikan di setiap negara pada era global ini diciptakan untuk memproduksi operator-operator mesin besar bernama kapiatalisme. universitas dibuat sebagai kepanjangan tangan-tangan kapitalism, dimana dicetaknya para ahli yang akan membantu meningkatkan produksi masal. Saat korporasi asing menguras kekayaan di sebuah negeri, mereka membutuhkan sarjana perminyakan yang ahli dalam kontruksi, drilling, piving danyang lainya, sehingga diciptakanlah juru-jurusan teknik pertambangan. Begitu juga ahli-ahli dibidang lainya seperti desain produk, publik relation, tekstil, mereka diperlukan untuk kelangsungan deru mesin produksi masal. Tapi tidaklah selalu merugi, karena posisi sebagai pekerja di perusahaan tmabang asing itu cukup bergengsi dan bisa dikatakan keren, meskipun standar gaji mereka sama dengan tukang cuci piring di eropa. sebetulnya banyak hal yang saling mempengaruhi yang membuatku tetap menjadi penganggur, selain hal di atas, aku terlanjur terjebak dalam dunia politik praktis. Secara resmi aku bukanlah politisi, tapi aku sedikit terlibat dalam dunia politik. Walaupun kuliah di jurusan filsafat, aku asyik tertarik dengan kajian-kajian politik. Bahkan di kampus dan di organisasiku dulu, aku terbiasa dengan politik, meskipun dalam skup senat dan organisasi