Kamis, 25 September 2014

HENINGNYA CINTA BADAI

NOVEL BERSAMBUNG . . HENINGNYA CINTA BADAI. . Part 1. . Oleh : Kundrat Kanda Permana. . saat aku berkenalan dengan orang baru, selalu saja terlontar pertanyaan kenapa aku diberi nama Badai. Malah tak jarang juga yang menganggap aku orang karo sumatera utara, karena kebiasaan orang Karo saat mau memberi nama pada anaknya sering dihubungkan dengan kejadian atau hal lain yang berhubungan dengan moment kelahiran anaknya Seperti seorang mentri asal sana yang nama awalnya Malam Sabat atau disingkat MS karena lahir pada malam sabtu. Malah ada sebuah lelucon dimana seorang anak yang selalu dipanggil hey oleh teman-temanya. karena tak enak dengan panggilan itu akhirnya si anak komplai ke bapaknya. "Kenapa aku tak diberi nama pak?, aku gak mau dipanggil "Hey" oleh teman-temanku" sang bapak menjawab "nak, bukanya bapak tak mau memberimu nama, tapi bapak tak tega memberimu nama si "kondom bocor". ya itu hanya lelucon. Namaku Badai, nama yang tak ada hubungan dengan peristiwa apapun dengan kelahiranku, mungkin bapakku ingin namaku terdengar gagah, karena dalam berbagai bahasa hurup "B,G dan D" atau kata yang mengandung huruf itu selalu berkonotasi gagah dan besar. Dalam bahasa Indonesia ada kata "besar, gagah, digdaya", dalam bahasa Arab besar disebut "Kabir" dalam bahasa inggris "Big, Bold, Grand" dalam bahasa Francis dan itali "Grande" dalam bahasa sunda dan jawa "Gede" atau dalam bahasa india "Bare". Sebaliknya yang mengandung huruf "L,K dan T" banyak berkonotasi kecil dan payah. lihat saja kata ini, kecil, qolil, small, leutik, cilik, petit, piccolo, chote. Entahlah aku sendiri tak pernah bertanya pada bapakku, terlepas dari itu, perawakanku memang tinggi besar. Badai merupakan term yang memiliki konotasi kejam, dimana kehadiranya selalu diratapi orang, kedatangan badai berarti datangnya prahara yang meluluh-lantahkan semua yang ada. Badai tsunami dan badai catrina adalah contoh yang pas untuk menerangkan bagaimana kejamnya dia. Begitu juga bagi masyarakat padang pasir, kehadiran badai gurun merupakan ancaman serius, dia bisa merusak tenda-tenda kafilah bahkan membunuh hewan ternak yang mereka gembalakan. Badai bisa merusak sebuah kota dalam tempo beberapa menit. bahkan beberapa penyair atau penulis lagu pun tak ketinggalan memperkuat stigma kejamnya badai. kita mengenal judul lagu "badai biru' itje tisnawati , atau chryshe "badai pasti berlalu". Tapi untunglah perasaan subjektifku menganggap aku tak seperti itu. Aku lelaki yang tak mengancam siapapaun, tapi justru sekarang muncul pemikiran bahwa aku ingin memiliki sisi bahaya. Aku lihat orang-orang hebat yang kerap muncul dalam catatan sejarah adalah orang-orang yang memiliki daya gedor dan sebuah daya ancaman. Seperti Jhon F kenedy yang mati ditembak gara-gara menolak undang-undnag perbankan yang menguntungkan segelintr bankir elit. Tapi tentunya juga aku tak boleh jadi ancaman bagi orang ataupun sistem yang baik. Aku dilahirkan sebagai anak seorang guru honorer di madrasah swasta di kampung yang tak perlu ditanya lagi berapa besar honornya, meskipun hari-harinya dihabiskan di sekolah dengan jam mengajar terbanyak di sekolahnya, tetap saja gaji bapakku takan bisa menyamai teman mengajarnya yang jadi PNS. Walaupun begitu, bapaku tak pernah iri ataupun menggerutu, karena baginya mengamalkan ilmu itu wajib, kalau tak diamalkan itu jadi sesuatu yang mubadzir, dan tentunya orang mubadzir itu temanya syetan, begitulah yang ada di pikiran bapakku. Sementara Ibuku seorang ibu rumah tangga. satu-satunya anak perempuan dari kakek-neneku. Sebagai anak seorang kyai, tentunya Ibuku menghabiskan waktu mudanya dengan mengaji. hal itu pula yang mendasari ibuku mengharuskanku untuk bisa mempelajari berbagai kitab kuning. Bahkan saking seriusnya, ibu sering memarahiku saat aku salah membaca, salah membaca kata sambung pun aku harus mengulanginya sampai aku menuturkanya tepat seperti yang dajarkan ibuku. karena tiap hari aku mengulanginya, akupun bisa membaca arab gundul dengan terjemahanya, meskipun waktu itu aku tak memahaminya. Banyak istilah kolot yang jarang lagi digunakan oleh orang-orang seangkatanku, aku ingat pula ada materi fikih di kitab kuning yang sama sekali sudah usang dan takan ditemukan lagi prakteknya di planet ini, yatiu cara membersihkan kotoran dengan batu, apalagi kalau mencari batu yang sudutnya tiga. Beruntunglah Ibuku yang mempunyai tanah warisan yang cukup dari kakekku, tanpa itu meungkin aku tak dapat mengenyam pendidkan di universitas, karena penghasilan bapakku hanya cukup tuk beli kebutuhan pokok sehari-hari. Ibuku sangat peduli denganpendidikan anaknya, hingga ia rela menjual sebahagiaan tanahnya tuk menguliahkanku. Al hasil akupun berhasil menamatkan kuliah di Jakarta. Seperti kebanyakan sarjana di negri ini, titel sarjana bukanlah jaminan seseorang bisa mendapatkan kerja dengan mudah. dua tahun setelah kelulusanku, aku masih saja jadi pengangguran, walaupun ini bukanlah sesuatu yang menyiksa buatku, karena aku bisa mendapatkan uang dari apa saja tanpa harus kerja. Selepas kuliah aku sempat melamar kerja ke beberapa instansi, namun siapa yang mau menerima sarjanan filsafat? pabrik-pabrik, perusahaan kontruksi, perbankan apalagi perusahaan tambang tak ada yang butuh sarjanan filsafat. Mereka butuh seorang ahli gambar, acounting atau ahli perminyakan, bukan orang yang hanya bisa ngomongin Plato, Descartes, ataupun Mulasadra. Jangankan filsafat, banyak temanku yang sarjana ekonomi, sarjana tehnik dan sarjana pendidikanpun sama-sama sulit mencari pekerjaan, meskipun di negri ini sekolah ada dimana-mana, meskipun negri ini getol membangun infrastruktur ekonomi dari uang pinjaman luar negri. Ya di negri ini terlalu mudah orang membuat sekolah dan perguruan tinggi, izin dikeluarkan tanpa melihat keluaran yang dibutuhkan di negri ini. di negri agraris yang memiliki lahan subur, negri yang memiliki hutan luas sebagai paru-oaru dunia, di negri bahari yang memiliki pantai terpanjang ini, berapa kita memiliki sekolah kelautan, sekolah pertanian dan kehutanan. tiap tahun di satu kabupaten saja berbondong-bondong sarjana pendidikan yang ngantri tuk jadi pengajar yang berstatus PNS, padahal pemerintah hanya menerima beberapa puluh saja, itupun harus mengakomodir guru honorer yang sudah lama masuk waitting list. Keanehan lain di negri ini ialah banyaknya pegawai yang sama sekali tidak sesuai dengan bidang pendidikanya sewaktu di kuliah. Lihat saja jaringan perbankan dikuasai oleh sekelompok lulusan pertanian, sarjana teknik lulusan universitas terbaik di negri ini bergerombol di dunia politik, bahkan identitas almamater mereka menjadi salah satu geng politik tertentu. Dulu alasan itu cukup membuatku merasa tidak bersalah menjadi seorang penganggur, tapi kini aku punya alasan lain yang sedikit tampak lebih cerdas. Faktanya pendidikan di setiap negara pada era global ini diciptakan untuk memproduksi operator-operator mesin besar bernama kapiatalisme. universitas dibuat sebagai kepanjangan tangan-tangan kapitalism, dimana dicetaknya para ahli yang akan membantu meningkatkan produksi masal. Saat korporasi asing menguras kekayaan di sebuah negeri, mereka membutuhkan sarjana perminyakan yang ahli dalam kontruksi, drilling, piving danyang lainya, sehingga diciptakanlah juru-jurusan teknik pertambangan. Begitu juga ahli-ahli dibidang lainya seperti desain produk, publik relation, tekstil, mereka diperlukan untuk kelangsungan deru mesin produksi masal. Tapi tidaklah selalu merugi, karena posisi sebagai pekerja di perusahaan tmabang asing itu cukup bergengsi dan bisa dikatakan keren, meskipun standar gaji mereka sama dengan tukang cuci piring di eropa. sebetulnya banyak hal yang saling mempengaruhi yang membuatku tetap menjadi penganggur, selain hal di atas, aku terlanjur terjebak dalam dunia politik praktis. Secara resmi aku bukanlah politisi, tapi aku sedikit terlibat dalam dunia politik. Walaupun kuliah di jurusan filsafat, aku asyik tertarik dengan kajian-kajian politik. Bahkan di kampus dan di organisasiku dulu, aku terbiasa dengan politik, meskipun dalam skup senat dan organisasi

Tidak ada komentar: