Minggu, 09 Juli 2017

BAHAYANYA TELAT SADAR

Oleh : Kundrat Kanda Permana. Dengan puasa kita dituntut untuk bangun lebih awal. Apalagi yg menyediakan sahur, ia harus lebih awal dari yg lainnya. Bangun lebih awal berarti kita sadar lebih awal, karena orang tidur tentu tidak sadar, walaupun bisa berminpi indah. Kalau kita bangun terlambat, berarti kita telat sadar, sementara pesaing kita sadar lebih awal, dalam skala besar keterlambatan untuk sadar itu akan jd malapetaka besar yg membawa kehancuran. Sejarah mencatat, persia hancur karena mereka telat sadar kalau pasukan muslim sedang on fire, mereka merasa jadi negara super power, dan di tangan umar persia terhapus dr kancah dunia. Begitu juga kekhalifahan abasyiah yg telat sadar, kalau pasukan mongol di bawah hulagu khan adalah ancaman yg serius, namun khalifah menganggap kecil, dan alhirnya bagdad hancur berkeping dengan kepedihan mendalam selain jutaan jiwa mati, dan kota hancur, kekuasaan pun tumbang. Melayu singapore, telat sadar kalau pendatang menguasai mereka, juga filipina negri muslim yg dimurtadkan spanyol, sekarang malah pribumi moro yg jd dianggap sparatis, padahal negri itu dulu punya mereka. Bisnis Nokia yg merajai ponsel selama belasan tahun, hancur oleh kelngahan dan keterlambatan sadar, bahwa os syimbian tak bisa bersaing lawan aple dan android. Krn kesombongan nokia menolak mentah2 os android. Begitu juga excite sebagai web soft mesin pencari pionir yg telat sadar ketika lary page menawarkan google untuk dijual dengan harga yg murah hny 1% dr nilai bisnisnya, google dipandang sebelah mata, dan apa yg terjadi sekarang? Excite bangkrut dijual ke ask.com google malah jadi adidaya. Yg menjadikan dua pemiliknya jd org no 5 dan 6 terkaya dunia. Kodak menemukan kamera digital dibtahun 1975, lebih awal dr siapapun, tp keterlambatan mereka melempar ke pasar, membuat sang legenda hamcur tinggal kenangan. Kenapa dia menyimpan teknologi sampai 20 tahun, dan membiarkan org lain menyusulnya, itulah blunder yg fatal. Banyak kisah tentang keterlambatan untuk sadar yg beralhir penyesalan dalam. Maka pelajarilah setiap pertanda (ayat) sebelum kita bertemu dengan kata sesal.

Salah Kaprah Klaim Keberhasilan Pemimpin dari Pembangunan Fisik

Oleh: Kundrat Kanda Permana Hampir setiap pemimpin mengklaim keberhasilan dirinya dilihat dari gedung atau taman yang dia bangun. Baik dari leel presiden sampai level bupati dan walikota. Jokowi merasa dirinya hebat karena membuat jalan baru, ahok pun merasa jadi gubernur top karena bangun mesjid daan mogot dan taman kalijodo, tak ketinggalan ridwan kamil dielu-elukan media karena membuat taman-taman di seputar bandung. Mari kita kaji benarkah itu semua prestasi? Pertama, pembangunan sarana fisik seperti itu memang bagus, tapi itu sangat standar, semua pemimpin di masa kepemimpinannya pasti membangun sarana fisik, tak ada yang spesial dengam itu. Kedua, uang yang dipakai membangun adalah uang APBN/APBD yang berasal dari pajak rakyat, atau hutang luar negeri. Jadi apa hebatnya membangun sarana fisik, kalau toh anggaranya tersedia. Ketiga, apakah sudah teruji berapa efek ekonomi dari pembangunan sarana itu, jika biaya yang besar digelontorkan untuk pembangunan fisik, sementara itu berasal dari hutang yang tentu harus dibayar pake bunga. Sudah terhitungkah sejauhmana efek peningkatan ekonomi dari pembangunan itu atau malah lebih besar pasak daripada tiang. Pemimpin yang hebat itu ialah yang bisa menaikan kesejahteraan rakyatnya, indikator dari kesejahteraan yang paling sohih adalah ketersediaan uang atau katerjangkauan harga. Jadi tak perlu berbangga dengan prestasi palsu, jika semua itu tidak ada korelasinya dengan kesekahteraan rakyat. Jika kehebatan pemimpin diukur dari pembangunan gedung, maka fir’aun lah pemimpin yang paling hebat, sebab dia bisa membuat bangunan yang bisa bertahan berabad-abad lamanya https://www.telegram.co.id/published/2017/07/06/salah-kaprah-klaim-keberhasilan-pemimpin-dari-pembangunan-fisik/

KETIKA JULAIKHA MENGAKBARKAN YUSUF

Sewaktu kecil kita diceritakan kisah tenntang Yusuf yang super keren. Salah satu penggalan menarik dari kisah itu ialah, ketika julaikha menyuruh para dayangnya untuk mengiris sesuatu berbarengan dengan lewatnya Nabi Yusuf dengan pesona wajahnya yang memukau, apa yg terjadi kemudian, tanpa sadar para dayang mengiris jari tanganyan sendiri. Tentu kisah itu bukanlah dongeng orang-orang terdahulu, karena penggalan kisah itu tersirat dalam qur'an. Tentu juga kisah itu bukan hendak menceritakan sebuah dingeng fantasi ala disney, tapi ada konten khusus yg termuat dari kisah itu. Apakah keteledoran itu hanya prilaku para dayang julaikha? Dan cerita itu tak kita alami sekarang? Tentu kita semua melakukan itu dalam versi yang berbeda. Bukankah kita sering mengakbarkan sesuatu yang membuat kita lena sehingga kita mencederai diri sendiri. Bukankah banyak kita saksikan orang yang mengakbarkan APBN tanpa sadar memotong nama baik dan keselematanya sendiri, para politisi yang mengakbarkan jabatan, para penjilat yang mengakbarkan presiden, para politisi yang mengakbarkan partai, rakyat yang mengakbarkan idola, dan semua yang mengakbarkan berhala buatan manusia dengan nama yang berbeda2, apakah itu konsep ataupun lembaga. Falamma roainaahu akbarnaahu, waqoto'na aidiyahuma. ( maka tatkala kami mandangnya, kami mengakbarkanya, dan kami potong tangan lesadarannya. Begitulah pesona materi yang kadang selalu menjadi penghalang bagi kesadaran dan kejernihan memandang sesuatu. Kita terlena dengan sesuatu yang nampak indah, sehingga kita kehilangan kendali pada diri sendiri. Padahal komitmen kita selalu meangakbarkan Alloh swt. Mengakbarkan Allah akan menarik kesadaran dan nalar kita untuk memandang hidup yang dicipta dengan ilmunya menjadi sebuah pemahaman yg rasional dan penuh kesadaran. Mengakbarkan allah akan linier dengan memahami total alam ini, dan hukum hidup yang terlahir dari ilmua, sekaligus mewakili kekuasaanya. https://www.konfrontasi.com/content/opini/kisah-julaikha-mengabarkan-yusuf

Kamis, 25 September 2014

HENINGNYA CINTA BADAI Part 2

--------- NOVEL BERSAMBUNG --------- ----- HENINGNYA CINTA BADAI ------- ---- Part 2 ---- ----- Oleh : Kundrat Kanda Permana-----. Selama ini, aku merasa nyaman dengan statusku sebagai penganggur banyak acara. Tak ada yang membuatku merasa minder ataupun terpuruk, malah sebaliknya aku merasa percaya diri, bagaima tak merasa nyaman, tanpa harus repot-repot kerja aku bisa mendapatkan uang untuk berbagai keperluan. untuk maintenan mobil, beli bensin, nongkrong di kafe, main bilyard juga untuk beli baju yang keren. aku tak mempunyai penghasilan yang tetap, tapi tetap berpenghasilan.Terbayang olehku betapa menderitanya jika aku harus bangun pagi, naik angkutan umum yang sesak, duduk di meja kantor berurusan dengan kertas dan benda mati lainya, trus pulang sore dengan badan lelah. Kapan aku akan menikmati hidup, jika setiap hari melakukan rutinitas yang sama setiap hari, betapa membosankan hidup normal seperti itu. Jika normal itu artinya harus berkemeja setiap pagi dan menggantungkan benda tak berguna bernama dasi di leher, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu artinya Aku harus memakai seragam kerja dan menghabiskan hari-hari tanpa mencapai impian hidup, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu artinya aku harus terpaksa mengatakan "I like Monday" padahal hatiku tak menyukanya, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu artinya seseorang harus tiba-tiba duduk sopan dan pura-pura mengetik karena ada Bos, padahal sedang melihat gosip baru tentang video panas PNS yang menghebohkan, maka aku tak perlu disebut normal. Jika normal itu harus berdiri terpanggang di bis kota layaknya sauna berjalan, maka aku tak perlu menjadi normal. Biarlah aku seperti ini, toh tetangga kossanku yang kerja di bank, dia berkata jujur bahwa dia kepingin seperti aku, karena sebagai Teller dia bosan harus pura-pura ramah dan barkata sopan kepada nasabah, padahal hatinya sedang galau. Apalagi gajinya tak cukup untuk membeli baju, sepatu, dan gedget terbaru yang diimpikannya. Ya para pemilik modal memang kejam, seorang pengusaha scure parking yang dari satu mall saja bisa meraup ratusan juta perbulan cukup menggaji karyawan delapan ratus ribu, padahal dia bekerja di kotak pengap ukuran 1x1 meter yang berada di basement yang panas. Begitu juga dengan tetangga di kampungku, sebagai buruh pabrik di salah satu produsen sepatu terkenal, dia hanya diberi bayaran lima ribu perak per sepatu, padahal sepatu itu ditoko, di bandrol dengan di atas satu juta. Atau mungkin Sartiyem pembantu asal kebumen, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah megah di menteng. Tugas Sartiyem cukup banyak, dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, belanja ke pasar dan kadang mengurus anak tuanya yang kecil. Tenaga Sartiyem itu hanya dihargai tujuh ratus ribu rupiah, Sedangkan Anak tuaanya sekali minta jajan, bisa mencapai dua juta. Ya di negri ini gaji pembantu sangat murah, tak seperti di eroipa, di inggris misalnya orang yang memiliki pembantu hanya para bangsawan saja, meskipun rumahnya besar, orang biasa jarang memiliki pembantu, karena mahalnya gaji pembantu, tak seperti di negri ini, Orang yang tinggal ngontrak di rumah type 36 saja sudah bisa memiliki pembantu. Sekali lagi tak ada yang membuatku merasa salah dengan status pengangguran ini kecuali satu hal, aku pernah kehilangan cinta. Dulu aku pernah pacaran dengan seorang perempuan, bahkan aku sudah melamarnya. sempat dia mengatakan kepadaku, bahwa dia ingin kepastian untuk masadepannya, dia kecil dia hidup berkecukupan, tapi kedepan dia tak ingin sekedar cukup, dia ingin lebih dari sekedar itu. Dan aku yang di matanya hanya penganggur, sementara dia sudah bekerja, rasanya aku tak bisa diandalkan. Meskipunn pendapatanku lebih dari penghasilanya, itu tak membuat dia yakin, bahwa aku akan memenuhi impiannya. Kata temanku perempuan memang seperti itu, dia butuh hal yang pasti, perempuan tak bisa diajak berjudi dengan masadepan. Perempuan akan lebih merasa tenang jika calon suaminya adalah lelaki yang bekerje dan berseragam, apakah itu polisi, tentara, PNS atau pekerja Bank. kali itu aku tak berhasil meyakinkan bahwa lelaki jangan dilihat dari benda apa yang dipunyainya hari ini, tapi spirit apa yang ada di pikiranya. Meskipun orangtuanya bisa menerimaku, meskipun aku tlah melamarnya, akhirnya cintaku pun hancur berkeping, seperti pesawat yang dihantam missil. Jelas terasa sakit dan pedih, bahkan jika kepedihanku itu ditimpakan kepada siang, seketika dia kan berubah jadi malam. Yang membuat sakit bukanlah aku kehilangan cinta, tapi aku kehilangan harga diri, aku merasa menjadi orang lelaki yang tak berguna. Setelah pertemuan terakhirku denganya yang bagiku tampak baik-baik saja dan tak ada apa-apa, aku pun pulang ke jakarta. tak terpikir olehku dua hari kemudian dia memutuskanku lewat SMS seperti yang dilakukan mantan bupati Garut. Tahukan kata-kata apa yang paling menyakitkan dalam kisah cinta? ya kata itu ialah "kata perpisahan'" yang dia tidak sempat mengatakanya, tapi hatimu merasakannya. Saat itu aku berkata dalam hati "suatu saat aku aan tau siapa kamu, dan kamu akan tau siapa aku". Walaupun begitu, dalam keterpurukan aku masih bisa menyombongakn diri, bagaimana mungkin seorang perempuan asal kampung berani mencampakan lelaki yang penuh dengan pengalaman hidup? Dulu aku pikir orang kampung tak seperti orang kota yang katanya matre, ternyata benar kata temanku, bahwa orang kampung juga sekarang nonton TV, wanita kampung juga butuh perawatann agar terlihat cantik. Ya begitulah kisah cintaku selalu berakhir tragis, saat bibir harapan mulai tersenyum padaku, selalu saja ada sumur di depan yang membuat segala impianku terjatuh kedalamnya. hampir semua mantan pacarku kini sudah menikah dan beranak-pinak, sementara aku masih tetap meronta dalam kesendirian yang mengerikan, serupa ahasvaros yang dikutuk sumpah eros. Satu hal yang membuatku bertahan, itu bukanlah kali pertama cintaku hancur, aku sudah banyak belajar dalam derita, hingga aku tak menjadi gila seperti caleg yang gagal menjadi wakil rakyat. Aku cukup waras untuk menyadari perbedaan cara pandang lelaki dan perempuan yang berbeda. Aku cukup waras untuk tidak menenggelamkanku dalam kubangan derita, karena biasanya seorang yang patah hati 30% sakit karena cintanya, tapi 70% sakit oleh dirinya sendiri. Bagaimana tidak, saat hati remuk orang mengganti tema blog, gedget disesuaikan dengan kelabunya hati, mendengarkan musik yang sama dengan keadaan hatinya, terang saja hati makin menderita. dan entah kenapa saat hati terluka, banyak syair lagu yang jadi begitu bermakna dan mengena ke hati, padahal sebelumnya dianggap biasa-biasa saja. Untuk saja waktu itu aku tidak mendengarkan lagu "gloomy Sunday" lagu yang banyak menimbulkan orang bunuh diri

HENINGNYA CINTA BADAI

NOVEL BERSAMBUNG . . HENINGNYA CINTA BADAI. . Part 1. . Oleh : Kundrat Kanda Permana. . saat aku berkenalan dengan orang baru, selalu saja terlontar pertanyaan kenapa aku diberi nama Badai. Malah tak jarang juga yang menganggap aku orang karo sumatera utara, karena kebiasaan orang Karo saat mau memberi nama pada anaknya sering dihubungkan dengan kejadian atau hal lain yang berhubungan dengan moment kelahiran anaknya Seperti seorang mentri asal sana yang nama awalnya Malam Sabat atau disingkat MS karena lahir pada malam sabtu. Malah ada sebuah lelucon dimana seorang anak yang selalu dipanggil hey oleh teman-temanya. karena tak enak dengan panggilan itu akhirnya si anak komplai ke bapaknya. "Kenapa aku tak diberi nama pak?, aku gak mau dipanggil "Hey" oleh teman-temanku" sang bapak menjawab "nak, bukanya bapak tak mau memberimu nama, tapi bapak tak tega memberimu nama si "kondom bocor". ya itu hanya lelucon. Namaku Badai, nama yang tak ada hubungan dengan peristiwa apapun dengan kelahiranku, mungkin bapakku ingin namaku terdengar gagah, karena dalam berbagai bahasa hurup "B,G dan D" atau kata yang mengandung huruf itu selalu berkonotasi gagah dan besar. Dalam bahasa Indonesia ada kata "besar, gagah, digdaya", dalam bahasa Arab besar disebut "Kabir" dalam bahasa inggris "Big, Bold, Grand" dalam bahasa Francis dan itali "Grande" dalam bahasa sunda dan jawa "Gede" atau dalam bahasa india "Bare". Sebaliknya yang mengandung huruf "L,K dan T" banyak berkonotasi kecil dan payah. lihat saja kata ini, kecil, qolil, small, leutik, cilik, petit, piccolo, chote. Entahlah aku sendiri tak pernah bertanya pada bapakku, terlepas dari itu, perawakanku memang tinggi besar. Badai merupakan term yang memiliki konotasi kejam, dimana kehadiranya selalu diratapi orang, kedatangan badai berarti datangnya prahara yang meluluh-lantahkan semua yang ada. Badai tsunami dan badai catrina adalah contoh yang pas untuk menerangkan bagaimana kejamnya dia. Begitu juga bagi masyarakat padang pasir, kehadiran badai gurun merupakan ancaman serius, dia bisa merusak tenda-tenda kafilah bahkan membunuh hewan ternak yang mereka gembalakan. Badai bisa merusak sebuah kota dalam tempo beberapa menit. bahkan beberapa penyair atau penulis lagu pun tak ketinggalan memperkuat stigma kejamnya badai. kita mengenal judul lagu "badai biru' itje tisnawati , atau chryshe "badai pasti berlalu". Tapi untunglah perasaan subjektifku menganggap aku tak seperti itu. Aku lelaki yang tak mengancam siapapaun, tapi justru sekarang muncul pemikiran bahwa aku ingin memiliki sisi bahaya. Aku lihat orang-orang hebat yang kerap muncul dalam catatan sejarah adalah orang-orang yang memiliki daya gedor dan sebuah daya ancaman. Seperti Jhon F kenedy yang mati ditembak gara-gara menolak undang-undnag perbankan yang menguntungkan segelintr bankir elit. Tapi tentunya juga aku tak boleh jadi ancaman bagi orang ataupun sistem yang baik. Aku dilahirkan sebagai anak seorang guru honorer di madrasah swasta di kampung yang tak perlu ditanya lagi berapa besar honornya, meskipun hari-harinya dihabiskan di sekolah dengan jam mengajar terbanyak di sekolahnya, tetap saja gaji bapakku takan bisa menyamai teman mengajarnya yang jadi PNS. Walaupun begitu, bapaku tak pernah iri ataupun menggerutu, karena baginya mengamalkan ilmu itu wajib, kalau tak diamalkan itu jadi sesuatu yang mubadzir, dan tentunya orang mubadzir itu temanya syetan, begitulah yang ada di pikiran bapakku. Sementara Ibuku seorang ibu rumah tangga. satu-satunya anak perempuan dari kakek-neneku. Sebagai anak seorang kyai, tentunya Ibuku menghabiskan waktu mudanya dengan mengaji. hal itu pula yang mendasari ibuku mengharuskanku untuk bisa mempelajari berbagai kitab kuning. Bahkan saking seriusnya, ibu sering memarahiku saat aku salah membaca, salah membaca kata sambung pun aku harus mengulanginya sampai aku menuturkanya tepat seperti yang dajarkan ibuku. karena tiap hari aku mengulanginya, akupun bisa membaca arab gundul dengan terjemahanya, meskipun waktu itu aku tak memahaminya. Banyak istilah kolot yang jarang lagi digunakan oleh orang-orang seangkatanku, aku ingat pula ada materi fikih di kitab kuning yang sama sekali sudah usang dan takan ditemukan lagi prakteknya di planet ini, yatiu cara membersihkan kotoran dengan batu, apalagi kalau mencari batu yang sudutnya tiga. Beruntunglah Ibuku yang mempunyai tanah warisan yang cukup dari kakekku, tanpa itu meungkin aku tak dapat mengenyam pendidkan di universitas, karena penghasilan bapakku hanya cukup tuk beli kebutuhan pokok sehari-hari. Ibuku sangat peduli denganpendidikan anaknya, hingga ia rela menjual sebahagiaan tanahnya tuk menguliahkanku. Al hasil akupun berhasil menamatkan kuliah di Jakarta. Seperti kebanyakan sarjana di negri ini, titel sarjana bukanlah jaminan seseorang bisa mendapatkan kerja dengan mudah. dua tahun setelah kelulusanku, aku masih saja jadi pengangguran, walaupun ini bukanlah sesuatu yang menyiksa buatku, karena aku bisa mendapatkan uang dari apa saja tanpa harus kerja. Selepas kuliah aku sempat melamar kerja ke beberapa instansi, namun siapa yang mau menerima sarjanan filsafat? pabrik-pabrik, perusahaan kontruksi, perbankan apalagi perusahaan tambang tak ada yang butuh sarjanan filsafat. Mereka butuh seorang ahli gambar, acounting atau ahli perminyakan, bukan orang yang hanya bisa ngomongin Plato, Descartes, ataupun Mulasadra. Jangankan filsafat, banyak temanku yang sarjana ekonomi, sarjana tehnik dan sarjana pendidikanpun sama-sama sulit mencari pekerjaan, meskipun di negri ini sekolah ada dimana-mana, meskipun negri ini getol membangun infrastruktur ekonomi dari uang pinjaman luar negri. Ya di negri ini terlalu mudah orang membuat sekolah dan perguruan tinggi, izin dikeluarkan tanpa melihat keluaran yang dibutuhkan di negri ini. di negri agraris yang memiliki lahan subur, negri yang memiliki hutan luas sebagai paru-oaru dunia, di negri bahari yang memiliki pantai terpanjang ini, berapa kita memiliki sekolah kelautan, sekolah pertanian dan kehutanan. tiap tahun di satu kabupaten saja berbondong-bondong sarjana pendidikan yang ngantri tuk jadi pengajar yang berstatus PNS, padahal pemerintah hanya menerima beberapa puluh saja, itupun harus mengakomodir guru honorer yang sudah lama masuk waitting list. Keanehan lain di negri ini ialah banyaknya pegawai yang sama sekali tidak sesuai dengan bidang pendidikanya sewaktu di kuliah. Lihat saja jaringan perbankan dikuasai oleh sekelompok lulusan pertanian, sarjana teknik lulusan universitas terbaik di negri ini bergerombol di dunia politik, bahkan identitas almamater mereka menjadi salah satu geng politik tertentu. Dulu alasan itu cukup membuatku merasa tidak bersalah menjadi seorang penganggur, tapi kini aku punya alasan lain yang sedikit tampak lebih cerdas. Faktanya pendidikan di setiap negara pada era global ini diciptakan untuk memproduksi operator-operator mesin besar bernama kapiatalisme. universitas dibuat sebagai kepanjangan tangan-tangan kapitalism, dimana dicetaknya para ahli yang akan membantu meningkatkan produksi masal. Saat korporasi asing menguras kekayaan di sebuah negeri, mereka membutuhkan sarjana perminyakan yang ahli dalam kontruksi, drilling, piving danyang lainya, sehingga diciptakanlah juru-jurusan teknik pertambangan. Begitu juga ahli-ahli dibidang lainya seperti desain produk, publik relation, tekstil, mereka diperlukan untuk kelangsungan deru mesin produksi masal. Tapi tidaklah selalu merugi, karena posisi sebagai pekerja di perusahaan tmabang asing itu cukup bergengsi dan bisa dikatakan keren, meskipun standar gaji mereka sama dengan tukang cuci piring di eropa. sebetulnya banyak hal yang saling mempengaruhi yang membuatku tetap menjadi penganggur, selain hal di atas, aku terlanjur terjebak dalam dunia politik praktis. Secara resmi aku bukanlah politisi, tapi aku sedikit terlibat dalam dunia politik. Walaupun kuliah di jurusan filsafat, aku asyik tertarik dengan kajian-kajian politik. Bahkan di kampus dan di organisasiku dulu, aku terbiasa dengan politik, meskipun dalam skup senat dan organisasi

Kamis, 20 September 2012

SEBUAH MENARA DALAM KEPUNGAN DI TII

Kisah DI/TII yang menyerbu Pesantren Cipari Wanaraja (dahulu disebut darussalam I), Garut pimpinan K.H. Yusuf Tauzirie yang sebelumnya sebagai guru pimpinan puncak DI. (sel) JAUH dari hiruk-pikuk kota dan lepas dari kawasan debu daerah industri, di tengah lingkungan hijau pedalaman, Desa Cipari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, bagai sebuah oasis. Di sana menyembul tipis Pesantren Cipari - pada lingkaran perumahan penduduk yang sekitar 500 umpi (kepala keluara). Di kompleks pesantren yang sekitar satu hektar itu tampak asrama santri yang dihuni sekitar 30 orang, gedung madrasah aliyah, dan bangunan masjid yang berukuran sekitar 30 x 70 meter. Namun sebuah pemandangan segera mengganggu. Menara masjid, yang bergaris tengah satu meter dan tinggi 20 meter itu, tampak bagai sosok tua. Bahkan agak mengerikan: tubuh menara yang kelihatan betul tak kenal pemugaran itu penuh bekas hunjaman peluru. Sebuah serangan yang dahsyat mestinya telah terjadi - dan seolah baru kemarin sore. Memang, itu sebuah kenangan. "Biar jadi saksi sejarah perjuangan Pesantren cipari," ujar Cholid Tauzirie, 43, pemimpin Pesantren dan anak kelima dari delapan anak K.H. Yusuf Tauzirie. Yang terakhir itu adalah pendiri terpenting Pesantren dan tokoh kunci dalam kisah riwayat ini. Kisahnya memang bermain di sekitar pesantren itu. Di situlah, 17 April 1952, hampir seluruh penduduk Desa Cipari terkurung oleh ribuan pasukan Darul Islam. Pengurungan berjalan dari sehabis isya, sekitar pukul 20.00, sampai pukul 3.00 menjelang subuh. Orang-orang desa ini bertahan dengan senjata seadanya - dan sukses. K.H. Yusuf Tauzirie, yang sejak dahulu dikenal sebagai ulama besar di Jawa Barat, pernah menjadi teman perjuangan Kartosuwirjo sendiri. Bahkan juga dianggap sebagai guru spiritual pimpinan puncak Darul Islam itu. Toh cita-cita rupanya tidak sama: mereka berselisih, lalu berpisah. Dan sejak perselisihan itu Cipari menjadi kawasan panas. DI menjadikannya salah satu target mereka, sementara di sisi lain K.H. Yusuf Tauzirie mempersiapkan pertahanan. Dengan menghimpunkan senjata - yang antara lain didapatnya dari Mayof Umar Wirahadikusumah (kini jenderal, dan wakil presiden), yang waktu itu komandan Sektor Priangan Timur, Kiai Yusuf senantiasa bisa mematahkan serangan Kartosuwirjo. Seperti juga Kartosuwirjo, K.H. Yusuf sendiri sudah terlibat pergerakan kemerdekaan melawan Belanda sejak awal kebangkitan umat Islam di masa mutakhir. Ia pernah menjadi aktivis Sarekat Islam. Juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Divisi Siliwangi. Pesantrennya di Cipari, yang sudah ada sejak 1926, sering menjadi tempat pertemuan para tokoh perjuangan kemerdekaan: Pengarang Abdul Muis, Haji Agus Salim, dan H.O.S. Tjokroaminoto sendiri, antara lain. Kawasan Kiai Yusuf meliputi pula ibu kota kecamatan, Wanaraja, yang terletak sekitar tiga kilometer di timur laut Desa Cipari. Sebagian hidup kiai itu dihabiskan di kota ini bahkan ia pernah memindahkan pusat pesantrennya ke sini, khususnya setelah serangan DI pada 1952 itu. Dan sampai kini jantung pesantrennya sendiri tetap di Wanaraja. Di sini terdapat Pusat Yayasan Darussalam, dan bangunan di pusat pesantren ini pun sedikit lebih megah dari yang di Cipari. Masjid menyatu dengan sebuah aula serba guna seluas 20 x 30 meter, dan hampir bersambung dengan bangunan madrasah tsanawiyah dan sebuah sekolah lanjutan atas. Bangunan ini berlantai dua dan memiliki 14 lokal. Di kompleks ini terdapat 600 siswa tsanawiyah, 300 siswa SLA, 30 santri, serta 29 staf pengajar dan petugas administrasi. "Untuk menggaji guru-guru saja, setiap bulan anggarannya hampir Rp 2 juta," ujar Cholid Tauzirie. Masih ada pula pengajian untuk masyarakat luar, tiap malam, juga kursus mubalig, di samping Majelis Ta'lim tiap Kamis dengan peserta rata-rata 4.000 orang. Dan, sebulan sekali, diselenggarakan tausiah mubahasah atau forum diskusi untuk para ulama. Ini rata-rata diikuti 300 sampai 400 orang. Tapi puncak keramaian terlihat pada perayaan Maulid Nabi - kebetulan bertepatan dengan hari wafat K.H. Yusuf Tauzirie, 3 Maulid 1402 atau 29 Desember 1981. Ini semacam tablig akbar yang diikuti puluhan ribu jemaah dari berbagai daerah Jawa Barat. Bila upacara berlangsung, Wanaraja yang terletak sekitar empat kilometer dari Kota Garut itu berubah menjadi lautan manusia. Ciri ajaran Kiai Yusuf yang masih diikuti antara lain sikap mandiri - yang kalau perlu dipertahankan walaupun orang mengajak berselisih, seperti terlihat di masa hidupnya. Dan sampai kini, "Semua kegiatan Darussalam swadaya murni tak ada sedikit pun bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah," ujar Cholid, yang menjadi penerus. Zaman rupanya sudah menjadi saksi keteguhan sikap itu. Banyak sekali kiai yang menentang DI, tapi mungkin hanya Yusuf Tauzirie satu-satunya yang menentang dengan sangat keras dan dengan penuh risiko. Tak heran bila Hiroko Horikoshi, peneliti dari Jepang, dalam disertasinya di Universitas Cornell yang berjudul Gerakan Darul Islam di Jawa Barat (1948-1962): Pengalaman dalam Proses Sejarah, meletakkan kisah Kiai Yusuf di bagian yang penting. Berikut ini singkatan disertasi itu. * * * Antara 1949 dan 1958, Desa Cipari mengalami tak kurang dari 46 kali serangan DI - dan yang 17 menimbulkan kerusakan besar. Di desa ini pula Kiai Yusuf lahir, meski dalam kegiatan politik dan keagamaan di kemudian hari ia cukup lama tinggal di Wanaraja. Ia kembali ke Cipari dari Wanaraja pada 1946, setelah kota itu dibumihanguskan oleh sebuah sempalan gerombolan kiri yang menamakan dirinya Pasukan Pangeran Papak. Sejak DI/TII melancarkan terornya di Jawa Barat, Desa Cipari menjadi salah satu tempat berlindung penduduk desa-desa sekitar. Di Cipari pada 1933 Kiai Yusuf membangun sebuah masjid dan madrasah, dan sudah jadi kebiasaan penduduk desa sekitar mengungsi ke masjid dan madrasah itu sehabis lohor. Mereka membawa perlengkapan sekadarnya dan memasak makanan di halaman masjid. Terus menginap, dan baru kembali ke desa masing-masing esok harinya. Setelah pengakuan kedaulatan, Divisi Siliwangi menempatkan satu kompi pasukan di sana untuk menghadapi gangguan DI/TII. Dengan semakin meningkatnya keganasan gerombolan di daerah sekitarnya, semakin banyak pula penduduk - sampai ribuan orang - mengungsi ke Cipari. Di Cipari, yang pertama-tama mengetahui kedatangan gerombolan DI/TII adalah seorang kiai, sepupu Kiai Yusuf dari pihak ibu. Rumahnya kebetulan terletak di tepi jalan ke arah desa, dan di malam hari mereka sekeluarga biasa pula mengungsi ke Cipari. Kepada Hiroko inilah sang kiai, dan berbagai tokoh lain, mengisahkan pengalaman mereka. * * * "Pada hari itu saya menghadiri rapat di Cimahi, dan baru sore hari kembali ke rumah," tutur Kiai. "Saya sedang berganti pakaian ketika istri saya membisikkan, ada patroli di luar rumah. Segera saja saya menyadari bahwa itu bukan patroli biasa - dari pos polisi kecamatan - melainkan sepasukan DI/TII yang sedang bergerak ke arah desa. Saya tarik badan istri saya, dan kami bersembunyi di balik tirai sambil mengintip. Tidak biasanya TII datang ke desa sesore itu, dan dari arah selatan pula. Biasanya mereka muncul dari gunung-gunung sebelah utara. Hari itu saya terlambat pergi ke madrasah, tapi hal itu pulalah yang menyelamatkan jiwa kami." Di Cipari suasananya berbeda. Adik perempuan Kiai Yusuf, Hajah E. Kuraesin, berkisah, "Kami mendengar berita pasukan DI/TII sudah mendekati Cipari menjelang isya, sekitar pukul setengah tujuh malam. Sejak magrib, sebagian besar penduduk yang mengungsi ke Cipari sudah masuk ke gedung madrasah. Tapi karena rumah kami berdekatan dengan madrasah, kami masih berada di rumah. Kakak perempuan saya, yang selalu kebingungan jika ada hal-hal yang tak lazim, mulai berteriak-teriak, "DI sudah datang!" la melompat ke sana kemari. Mula-mula saya tak percaya, karena masih terlalu sore. Tapi ketika saya lihat rumah di seberang rumah kami mulai dimakan api, kemudian mendengar hinyi kentongiln dipukul, keraguan saya lenyap. Ibu saya, yang berusia delapan puluh tahun, meloncat lewat jendela bersama dua cucunya. Melalui pekarangan rumah mereka berlari ke madrasah. Saya membantu kakak saya yang ketakutan, dan kami selamat juga sampai di madrasah. Di sanalah saya mengetahui: abang ipar saya sudah ditembak mati DI/TII mayatnya dilemparkan ke salah satu rumah yang terbakar. Saya harus menenteramkam anak-anaknya yang dilanda ketakutan. Abang ipar saya itu ternyata terlambat pulang dari pengajian di desa berdekatan. Ketika ia lari ke luar rumah, setelah mendengar bunyi kentongan, saat itulah peluru TII menghabisi nyawanya. Empat penduduk lain mati dengan cara yang sama, termasuk seorang anak laki-laki sepupu saya." "Waktu itu abang saya, Kiai Yusuf, sudah bertada di puncak masjid. Adanya menara ini rupanya memang sudah takdir Tuhan. Karena, saya ingat benar, ketika abang saya mendirikan kompleks masjid-madrasah itu kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya, dalam rencana yang dibuat tidak ada gambar menara itu. Tapi karena satu dan lain hal abang saya berkeras menambahkannya - diletakkan di antara masjid dan madrasah. Berkat Allah jugalah - karena ternyata ribuan orang telah diselamatkan dari maut dalam peristiwa itu." Kesulitan pertama dirasakan oleh mereka yang bertahan dan panik itu: persenjataan sama sekali tak cukup. Yang ada hanya tujuh pucuk senapan, di samping pistol Kiai yang buatan Kanada. Lima karaben Jepang di antaranya - peninggalan pasukan Siliwangi - dan dua senapan dorlok buatan dalam negeri ternyata kurang ampuh. "Yang banyak pada kami, granat," tutur Hajah Kuraesin. Pada saat menegangkan, dalam ancaman maut, si adik ini justru ingat seorang keponakannya, laki-laki. Pemuda itu bekas prajurit Peta yang aktif di Siliwangi, tapi ketika itu sedang bertugas ke Jakarta. "Saya benar-benar kehilangan dia." Tapi para pengawal pribadi Kiai Yusuf menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Mereka juga cekatan, dan sikap inilah yang menenteramkan penduduk. Mereka itu para pengungsi dari Desa Sindangheula lemah lembut sikapnya, rendah hati, dan lugu. * * * Tembak-menembak pada 17 April 1952 itu berlangsung sampai pukul tiga pagi. Sekitar 3.000 anggota TII melakukan tiga kali serangan. Dan Kiai Yusu berdiri di puncak menara, melemparkan granat kepada TII yang sedang maju di bawah. Dalam nyala api rumah yang terbakar, bayangan tubuhnya tampak dari jauh bagai wayang kulit bergerak-gerak di layar. Semua jendela madrasah pecah kena peluru, dan banyak pengungsi dalam madrasah terluka kena pecahan kaca. Seorang anggota pengawal Kiai, Bohim namanya, berdarah di dahi tapi terus menembak. "Saya berkeliling bangunan itu, membantu merawat yang luka-luka. Seorang wanita, pengungsi dari Sindangheula, tertembak ketika sedang berjalan menuju madrasah. Peluru yang menembus badannya melukai pula bayi yang sedang digendongnya. Ibu dan anak meninggal ketika itu juga," tutur Kuraesin. Karena terus-terusan dipakai, dua senapan di pihak Cipari kepanasan dan rusak. Jadi tinggal lima saja, tapi tak lama kemudian satu lagi rusak. Salah seorang pengawal Kiai, Oyoh, kehabisan peluru. Ia mengambil keputusan nekat: mengorbankan nyawanya untuk keselamatan Kiai. Katanya, itulah sumbangannya yang terakhir. Dengan menggenggam sebuah granat tangan, dan tanpa menghiraukan orang lain yang berusaha mencegahnya, ia lari ke luar. Ia menghampiri beberapa anggota TII, lalu melemparkan granatnya. Sebelum ia bisa kembali ke madrasah, peluru membuatnya roboh. Karena sangat kekurangan peluru - sedang granat cukup banyak - Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya menembak sasaran yang sedang maju saja. Tiap serangan TII berlangsung dua sampai tiga jam. Lalu istirahat kira-kira setengah jam, sebelum mulai menembak lagi. "Kami benar-benar berharap, TNI akan segera datang dan menyelamatkan kami sebelum TII menguasai desa dan menghancurkan kami semua," tutur Kuraesin. Belakangan diketahui, TNI memang sudah berada di tikungan jalan raya sekitar satu setengah kilometer dari desa - tapi tak bisa menembus garis kepungan TII. Di dalam madrasah orang terus berdoa. Anak-anak menangis. Saat paling mengerikan tiba ketika TII mencoba mendobrak tembok barat masjid. Karena tembok itu menghadap kiblat, tak ada jendela di sana - dan karena itu tak ada tempat untuk menembakkan senapan. Untung tembok itu terlalu tebal - pondasi batunya saja satu setengah meter tingginya. Mereka kemudian melemparinya dengan sebuah granat, tapi hanya terbuat lubang sangat kecil yang tak bisa dimasuki laras senapan. Tiga orang lagi penduduk tewas. Pertama adalah Bulo, yang mencoba melemparkan granat kepada TII tapi meleset. Granat itu mengenai jendela, lalu terpental kembali dan merenggut nyawanya. Yang dua orang lagi kena peluru TII. "Dengan kekuatannya yang jauh lebih besar dan serangannya yang gencar, toh TII tak berhasil menghabisi kami," cerita Kuraesin. "Pihak kami hanya menderita korban sebelas jiwa - empat anggota pasukan pengawal dan tujuh penduduk. Ini pasti pertolongan Allah. Senjata kami hanya tujuh buah senapan, sedangkan TII ribuan." TII mundur ketika subuh tiba. Baru setelah semua menyingkir ke pegunungan, orang-orang Cipari yang bertahan di madrasah berani keluar. Matahari sudah tinggi, dan penduduk menyaksikam rumah mereka yang sudah jadi abu. "Untunglah rumah saya hanya separuh terbakar. Bagian rumah tempat saya menyimpan makanan masih utuh. Abang saya selalu memperingatkan agar kami menyimpan makanan di beberapa tempat. Jika persediaan di satu tempat terbakar, masih ada yang lain. Saya menyuruh anak-anak perempuan saya menyiapkan makanan bagi penduduk yang selamat. Semua orang kelaparan, tapi mereka tak bernafsu makan. Rasa takut dan kaget lama sekali baru bisa pupus dari ingatan kami. Sebagian ada yang kehilangan orang yang paling dikasihi, dan harus mengumpulkan tulang-belulangnya dari puing rumah yang terbakar." Tak lama kemudian datanglah rombongan Palang Merah Indonesia dari Garut membawa makanan dan pakaian. Sorenya datang pula gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata dari Bandung, bersama Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Simatupang dari Jakarta. Mereka menyatakan belasungkawa dan sekaligus kagum akan keberanian pasukan pengawal. Ikut pula seorang dokter Jerman untuk merawat yang luka-luka. Baru beberapa hari kemudian kehidupan di Cipari pulih kembali. Tapi, ternyata, berlusin-lusin mayat TII ditemukan penduduk di sawah dan empang ikan. Untuk waktu yang lama tak ada orang yang mau bekerja di sawah ikan di empang pun tak ada orang yang mau memakan. Rasa takut tetap menghantui penduduk, terutama wanita dan anak-anak. Bertahun-tahun sesudah itu beberapa wanita yang sudah berumur masih ketakutan jika mendengar lankah kaki oran di luar rumah pada tengah malam. Kiai Yusuf lalu pindah kembali ke Wanaraja. Tempat tinggal serta masjidnya diperbaiki para pengikut. Keberaniannya malam itu menjadikannya pahlawan di mata rakyat. Bertahun-tahun kemudian penduduk masih menyebut-nyebut mukjizat itu, dan selalu menghubungkannya dengan Kiai Yusuf. Penduduk percaya, kiai itu telah mencapai tingkat ma'rifat, kedudukan tertinggi dalam tasawuf. Ia dianggap memiliki kekuatan gaib. Menara masjidnya, yang dibiarkan tetap dalam keadaan seperti waktu terjadinya serangan DI/TII, berdiri tegak sebagai saksi. Banyak penduduk setempat sekembali dari rantau, misalnya yang jadi buruh musiman di kota, yang pertama mereka lakukan ialah menaiki menara itu. * * * Dengan serangan besar-besaran pertengahan April 1952 itu, Kartosuwirjo sebenarnya bermaksud menghabisi Kiai Yusuf beserta keluarga dan para pengikutnya. Ini merupakan puncak pertentangan antara kedua tokoh, setelah Kiai Yusuf mencabut dukungannya pada gerakan DI/TII yang dianggapnya menyimpang. Padahal kedua orang itu sudah bersahabat selama kurang lebih 20 tahun. Kedua keluarga mereka juga selalu bahu-membahu. Mertua Kartosuwirjo, Ardiwisastra, adalah tokoh PSII Jawa Barat pada tahun-tahun permulaan berdirinya organisasi itu. Istri Kartosuwirjo, Wiwiek, aktivis PSII yang militan, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) di Garut. Antara 1931 dan 1938 Kiai Yusuf duduk dalam Dewan Sentral PSII, dan saat itulah ia berkenalan dengan Kartosuwirjo. Hubungan mereka akrab, sehingga Yusuf menjadi salah seorang penasihat Karto. Kadang-kadang Yusuf yang berkecenderungan berat tasawuf itu dianggap bertanggung jawab atas kegemaran Kartosuwirjo pada hal-hal gaib. Beberapa peneliti malah mengatakan, Kiai Yusuf sebenarnya pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan DI pada tahap permulaan. Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer. Hanya, sudah sejak permulaan pula kelihatan watak Kartosuwirjo yang ambisius. Keluarga Kiai Yusuf sudah aktif dalam pergerakan politik Islam sejak Sarekat Dagang Islam didirikan tahun 1911 - yang kemudian menjadi Sarekat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Pada tahun 1919, di Garut terjadi apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Cimareme. Dalam peristiwa ini seorang bernama Haji Hasan dan anak laki-lakinya mengadakan perlawanan bersenjata terhadap usaha pemungutan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam penyelidikan kemudian, Belanda membongkar pula suatu gerakan rahasia yang disebut Afdeling B Sarekat Islam (Sl) yang hendak menggulingkan pemerintah kolonial. Gerakan itu dimulai oleh Haji Ismail pada 1917, dan menurut keterangan yang dikumpulkan Hiroko sifatnya jauh lebih luas daripada apa yang sudah diungkapkan saat ini - karena antara lain melibatkan pula Kesultanan Cirebon. Tujuan mereka ialah memasukkan senjata dari Rusia ke Jawa melalui pelabuhan Cirebon. Sementara itu Kartosuwirjo memulai karier politiknya di Jong Java tahun 1923, ketika masih belajar di sekolah dokter di Surabaya. Ketika kelompok Islam dalam organisasi ini memisahkan diri dua tahun kemudian untuk membentuk Jong Islamieten Bond, Kartosuwirjo pun ikut. Ia dipecat dari sekolahnya. Kemudian diangkat anak oleh H.O.S. Tjokroaminoto, dan di jadikannya sekretaris pribadinya sejak 1927 sampai 1929. Tahun itu pula ia jatuh sakit, lalu pindah ke desa asal istrinya, Bojong, Malangbong, Jawa Barat. Toh ia tetap bisa aktif dalam pergerakan sebagai komisaris PSII untuk Jawa Barat. Dua tahun kemudian, pada usia 26, ia menjabat sekretaris jenderal PSII - sampai 1936. Pada 1936 tercatat adanya dua kubu dalam partai: mereka yang setuju bekerja sama dengan Belanda dan yang tidak. Pangkal perpecahan terletak pada sikap yang berbeda dalam menanggapi campur tangan pemerintah terhadap hal-hal yang menyangkut hukum Islam (perkawinan dan waris) dan apakah akan diterima subsidi pemerintah kolonial untuk mengatasi krisis keuangan partai. Khawatir akan kehancuran partai yang lebih parah, Haji Agus Salim, yang mengetuai Dewan Partai, dan Mr. Mohamad Roem dalam kongres 1936 mengusulkan pembentukan Komite Barisan Penyedar. Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto yang memimpin kelompok lain menolak usul ini, dan Agus Salimbersama 29 pengikutnya dipecat dari pimpinan. Untuk sementara waktu PSII tetap mempertahankan doktrin Islam yang ekstrem dan kaku tanpa bersedia bekerja sama dengan Belanda. Tapi bagi Kartosuwirjo, kongres 1936 itu penting karena mengantarkannya ke karier politik yang lebih tinggi. Ia terpilih sebagai ketua muda PSII yang waktu itu dipimpin Wondoamiseno. Karena sikap politiknya yang radikal dan tak kenal kompromi, ia diminta kongres menulis brosur tentang hijrah. Bagi sebagian besar pimpinan PSII, hijrah tidak lebih dari istilah mengenai sikap partai terhadap pemerintah kolonial. Namun Kartosuwirjo benar-benar menyamakan pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad s.a.w. dari Mekkah ke Madinah. Dalam kaitannya dengan perjuangan politik di Indonesia waktu itu, hijrah Kartosuwirjo diartikan memisahkan diri secara total dari politik kolonialisme dan membangun umat hijrah yang bebas dari kuman-kuman penjajahan, serta membentuk kekuatan menuju Dar ul-lslam. Untuk mencapai hal itu, ia mengusulkan didirikannya lembaga pendidikan suffah (pemimpin ahli). Usul ini ditolak. Lalu, dengan bantuan pendukungnya, termasuk Kamran, ketua seksi pemuda PSII, dan Kiai Yusuf, Kartosuwirjo mendirikan kelompok yang disebutnya Komite Pembela Kebenaran (KPK). Awalnya kedudukan Kartosuwirjo terjepit, ketika segelintir anggotal pimpinan PSII - seperti dituturkan Kiai Yusuf sendiri kepada Hiroko - menuduhnya menyalahgunakan sumbangan uang dari Sumatera untuk partai. Meski tuduhan iu tidak jelas ujung pangkalnya, Karto dipecat - dan keputusan resminya disahkan dalam kongres Januari 1940 di Surabaya. Dalam waktu dua bulan sesudah itu, KPK, yang kadang-kadang disebut juga PSII II, tampil sebagai partai politik baru - dan menurut Kartosuwirjo di tiap cabang PSII terdapat KPK. Tapi pada kenyataannya hanyalah sebagian kecil Jawa Barat yang menyambut baik langkah Karto itu. Ini terbukti ketika KPK mengadakan kongres pertama (1940) di Babedahan, Garut. Waktu itu hanya enam dari bekas cabang PSII yang hadir: Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja, dan Malangbong sendiri. Di kongres inilah terjadi perbedaan pendapat pertama antara Kartosuwirjo dan Kiai Yusuf. Kartosuwirjo, yang kembali mengusulkan kepada para pengikutnya agar mengadakan hijrah total, meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah. Sebaliknya Kiai Yusuf menusulkan uan itu ditanamkan di bidang pertanian, supaya hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin Suffah. Kepada Hiroko Kiai Yusuf mengatakan, menurut pendapatnya waktu itu, saatnya belum matang untuk hijra total. Sedangkan bagi banyak ulama anggota, pindah ke Suffah - yang merupakan suatu komunitas tersendiri sulit dilaksanakan. Mereka masih terikat dengan tugastugas sosial dan keagamaan di desa masing-masing. Lembaga Suffah itu, yang didirikan 24 Maret 1940 di Bojong, Malangbong, ternyata kurang berhasil. Walaupun ia awalnya memang mampu menerapkan sistem pendidikan modern yang mengajarkan bukan hanya masalah agarna, tapi juga bahasa Belanda, astronomi, dan doktrin Islam militan. Sampai saat pendudukan Jepang tak hanya santri dari daerah berdekatan saja yang belajar, tapi bahkan ada yang dari luar Jawa. Kiai Yusuf secara tak langsung tetap mendukung Suffah, dengan mengirimkan dua anak laki-lakinya dan seorang keponakan sebagai pengajar dan pelajar. Tapi rupanya tak semua orang yang telah menyerahkan hartanya untuk Suffah siap menjalani cara hidup penuh disiplin itu. Khususnya para bekas tuan tanah mereka tak biasa hidup sama-rata-sama-rasa dan bekerja kasar, sementara perawatan kesehatan dan makanan sangat buruk. Pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu disibuki oleh ancaman serbuan jepang ke Indonesia, kekurangan waktu untuk memperhatikan perkembangan Suffah. Tak lama kemudian proyek itu ditutup: banyak muridnya yang kembali ke desa asal dalam keadaan lebih sengsara dibanding sewaktu mereka masuk Suffah. * * * Jengkel dan muak atas apa yang dianggapnya sebagai perpecahan dan oportunisme di kalangan pemimpin Islam yang mapan, Kartosuwirjo mulai membina basis pedesaan yang militan di Jawa Barat. Pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun berikutnya memberikan kepadanya kesempatan yang justru diidam-idamkannya. Ia mendapatkan dua hal sangat menguntungkan bagi usaha peletakan dasar-dasar Dar ul-lslamdi kemudian hari. Pertama, persoalan negara Islam bisa dihidupkan kembali di kalangan para tokoh Islam. Kedua, para pemuda bisa memperoleh latihan militer dari Jepang. Jepang, yang datang ke Indonesia sebagai "pembebas", berusaha benar memberi kesan sebagai "saudara tua" yang baik. Mereka menghormati para kiai dan menganggap mereka mempunyai kekuasaan de facto di pedesaan. Mereka tak mau mengusik hal itu. Tapi sikap ini justru merugikan kaum intelektual dan kelompok elite nasionalis di kota-kota, yang tak kecil peranannya membangkitkan kesadaran politik rakyat. Keadaan itu berbalik pada akhir pendudukan Jepang: kaum nasionalis justru yang mendapat angin. Dan ketika Jepang bertekuk lutut bulan Agustus 1945, golongan nasionalis dan golongan Islam jadi lebih sadar akan perbedaan di antara mereka. Luasnya kesempatan mendapat pendidikan militer yang di zaman Belanda tertutup sama sekali - penting pula peranannya dalam memperbesar harapan rakyat akan kemerdekaan. Para pemuda yang dilatih dalam pasukan Heiho pada pertengahan 1943 dijadikan bagian dari tentara Jepang, dan bulan Oktober dibentuklah pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang seluruhnya terdiri dari orang Indonesia. Berkat desakan para pemimpin Islam, pada tahun terakhir pendudukan Jepan para pemuda Islam mendapat pula pendidikan militer. Pasukan mereka disebut Hizbullah, sebagai bagian dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), federasi organisasi Islam yang dibentuk Jepang. Pada masa pendudukan Jepang ini pengaruh Kiai Yusuf di bidang politik dan agama makin meluas. Di Wanaraja Jepang mendirikan pabrik belerang. Dari sana dibuat jalan ke sebuah desa di Gunung Telagabodas, tempat kediaman para insinyur Jepang. Jalan baru ini menghidupkan perekonomian kota kecil Wanaraja, dan Kiai Yusuf semakin melicinkan jalan bagi terbentuknya Hizbullah di sana. Awal 1945, ketika Hizbullah dibentuk, Kiai Yusuf dijadikan pemimpin cabang setempat. Pasukan itu disebut Tentara Dar ul-Salam atau Esa Selamat dengan kekuatan yang cukup untuk satu batalyon. Mereka berasal dari Cicalengka, Ciparay, Majalengka, Sukabumi, Pameungpeuk, Bungbulang, Cikajang, dan Wanaraja. Tiap Jumat pagi para pelatih tentara Jepang berbaris menuju lapangan di depan madrasah Kiai Yusuf dan memberikan latihan sampai lohor. Acara pengajian hari Kamis pun sering berubah menjadi kesempatan kampanye bagi para propagandis Jepang dan Indonesia. Kegiatan politik Kartosuwirjo pada masa ini pun cukup konstruktif. Ia bekerja sama dengan para pemimpin nasionalis terkemuka dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan nasional. Pertengahan 1943, sebagai anggota Majlisul Islamil a'laa Indonesia (MIAI, federasi organisasi-organisasi Islam yang didirikan lima tahun sebelum pendudukan Jepang, sampai kemudian digantikan oleh Masyumi), ia menyerukan penghimpunan dana untuk mengatur pengumpulan dan pembagian zakat guna membantu fakir miskin dan mengurangi penderitaan rakyat akibat kesulitan ekonomi zaman perang. Badan penghimpunan dana yang disebut Bait al-Mal ini mendapat sambutan menggembirakan. Tetapi ketika berkembang ke arah yang dianggap membahayakan oleh Jepang, organisasi itu dibubarkan. Kartosuwirjo kemudian jadi komisaris Masyumi untuk Jawa Barat, dan bersamaan dengan itu masuk Hokokai - tak lama setelah badan itu didirikan, Maret 1944. Dalam Hokokai ia bekerja bahu-membahu dengan pemimpin Islam dan nasionalis terkemuka, seperti Soekarno, Hatta, Kiai Mas Mansyur, dan Abikusno Tjokrosujoso, di kantor pusatnya di Jakarta. Ia mendapat kesempatan membina kontak dan menanamkan pengaruhnya di kalangan ulama Jawa Barat. Menjelang akhir pendudukan Jepang menjadi pengawas pelatih gerilya di Banten, di samping memimpin Hizbullah di Malangbong. Kedudukan ini cukup penting bagi pengembangan gerakan DI-nya di kemudian hari. Banyak pelatih Hizbullah Malangbong yang kemudian jadi inti kekuatan DI. * * Terbentuknya DI pada masa awal Revolusi sedikitbanyak terdorong oleh dua hal. Pertama, munculnya begitu banyak laskar bersenjata dan tumbuhnya problem dalam proses penyerapan mereka ke dalam suatu tentara nasional Indonesia. Kedua, kegagalan para pemimpin Republik di meja perundingan untuk mendapatkan kedaulatan penuh yang bebas dari Belanda. Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang dibentuk pemerintah Rl tak lama setelah proklamasi kemerdekaan - dengan tugas menjaga hukum dan ketertiban - bukanlah suatu organisasi militer, meski tersusun secara hirarkis dari tingkat kabupaten sampai ke desa. Badan ini tak lebih dari suatu jaringan teritorial yang tidak ketat, dan sebagian besar terdiri dari para bekas anggota Seinendan, Keibodan, dan Peta. Organisasi lain yang anggotanya prajurit penuh dan merupakan angkatan perang adalah Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk 5 Oktober 1945 menggantikan BKR. Tujuannya pertahanan nasional, terutama menghadapi pendaratan Sekutu di Jawa pada bulan tersebut. Sejalan dengan terbentuknya tentara nasional, terutama selama bulan-bulan yang penuh bentrokan senjata antara Oktober 1945 dan pertengahan 1946, banyak organisasi pemuda paramiliter muncul secara spontan. Di Jawa Barat, di antara badan-badan itu adalah Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dipimpin Sutoko, Barisan Banteng dipimpin Rachmat Sulaiman, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dipimpin Karundeng, Pemuda Indonesia Maluku (PIM) dipimpin Pelupessy, Hizbullah, dan, yang baru dibentuk, Sabilillah, yang dipimpin Kamran, tangan kanan Kartosuwirjo. Badan-badan itu terbanyak berpusat sekitar Bandung, tempat berpangkalnya pasukan Sekutu. Pertengahan November 1945 mereka mengkoordinasikan diri ke dalam Markas Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP), dan Februari 1946 atas kemauan sendiri diubah menjadi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang mengkoordinasikan sekitar 61 kelompok politik-militer. MPPP, yang dipimpin Sutoko dan Kamran, memegang wewenang hukum atas kesatuan-kesatuan militer yang dikoordinasikannya, yang tetap berupa tentara ireguler (laskar) di luar tentara nasional. Sementara itu Kolonel Nasution, komandan Divisi Tiga tentara reguler, terus mendesak badan-badan perjuangan menggabungkan diri ke dalam tentara resmi. Hanya, mengingat terbatasnya senjata di Jawa Barat, ia menganggap pasukan-pasukan ini perlu diseleksi lebih dulu, sehingga hanya yang benarbenar memenuhi syarat bisa diterima. Usaha Nasution ini macet ketika ia terpaksa meninggalkan Bandung karena tak berdaya menghadapi pasukan Inggris. Dan Resimen Tentara Perjuangan (RTP), yang terdiri atas prajurit pilihan, harus menunggu sangat lama sebelum bisa bergabung sepenuhnya ke dalam Divisi lll (Siliwangi). Dengan demikian, para pejuang gerilya yang penuh semangat tapi masih bersahaja itu tetap berada di luar tentara nasional. Banyak anggota laskar ini yang merasa kurang dekat dengan perwira-perwira Siliwangi yang dididik Belanda, dan karena itu tetap lebih suka tak menggabungkan diri. Maka semakin banyak prajurit yang diberhentikan dari badan-badan perjuangan. Di kalangan anggota Siliwangi pun terdapat orang-orang yang kecewa akan masa depan mereka. Kelompok-kelompok inilah yang sedikit banyak merupakan umpan empuk bagi rencana Kartosuwirjo. Selama Revolusi, kegiatan Kartosuwirjo tak banyak berbeda dari para pemimpin badan perjuangan lain. Meski sangat kecewa karena bukan negara Islam yang diproklamasikan Soekarno-Hatta, dan meski menghadapi kekuatan pasukan Sekutu di Jawa, ia tetap mengerahkan kader-kadernya yang terbaik ke Bandung. Ia menjadi sekretaris ketika Masyumi menyatakan diri sebagai partai politik pada 7 November 1945, dan tahun berikutnya komisaris untuk Jawa Barat. Ia juga berhubungan erat dengan Hasjim, kepala seksi Hizbullah di pengurus pusat Masyumi ketika itu. Antara tahun 1945 dan 1947, dengan menolak usul "rasionalisasi" Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, Kartosuwirjo berhasil menempatkan pasukan Sabilillah di pedesaan dan Hizbullah di kota di bawah pengaruhnya. Perkembangan yang terjadi sampai datangnya tahun 1947 membuatnya semakin tak mempercayai kemampuan para pemimpin Rl memerdekakan Indonesia sepenuhnya melalui diplomasi. Malah perpecahan di antara pemimpin Rl menjadi-jadi. Belanda semakin memperkuat kedudukannya di daerah yang dikuasai. Dua bulan setelah Persetujuan Linggarjati ditandatangani (25 Maret 1947), Perdana Menteri Sjahrir - karena gertakan Belanda memberikan lebih banyak konsesi kepada Belanda. Semua ini mempertebal keyakinan Kartosuwirjo bahwa perjuangan bersenjata tak dapat tidak harus dilakukan jika Indonesia ingin mencapai kemerdekaan sejati. Ketidaksenangannya kepada pemerintah Republik diperlihatkannya ketika ia menolak tawaran PM Amir Sjarifuddin (yang menggantikan Kabiret Sjahrir) untuk menjadi wakil ll menteri pertahanan. Ia malah kembali ke Malangbong, memperkuat pasukan Hizbullah-nya di Priangan untuk menghadapi Aksi Militer Belanda. Aksi Militer Belanda yang pertama pecah pada 21 Juli 1947 dengan kekalahan lebih besar di pihak Republik. Di Jawa Barat, semua kota penting jatuh ke tangan Belanda. Meski Republik sudah siap menghadapi kemungkinan aksi Belanda itu, persenjataan mereka tidak cukup. Beberapa minggu kemudian kedua pihak setuju menghentikan tembak-menembak, atas tekanan PBB. Tapi Belanda telah menduduki banyak daerah yang mereka anggap vital. Gencatan senjata 29 Agustus 1947 menetapkan Garis van Mook yang memisahkan daerah Republik dengan daerah yang bisa diduduki Belanda. Dan daerah Belanda itu umumnya kaya bahan baku, sedang yang masuk Republik ialah daerah paceklik di Jawa Tengah, Keresidenan Banten di Jawa Barat, sebagian Jawa Timur, dan bagian Sumatera yang miskin. Mengingat kemunduran itu, Kartosuwirjo mengadakan konperensi November 1947 di Gunung Cupu, perbatasan Garut-Tasikmalaya, yang memutuskan mendirikan Dewan Pertahanan Umat Islam di Garut untuk mengkoordinasikan kesatuan-kesatuan Hizbullah dan Sabilillah. Untuk mengatur gerakan itu dibentuk Majelis Umat Islam yang berpusat di Tasikmalaya. Tanpa menghiraukan gencatan senjata Kartosuwirjo dan Hizbullah-nya bertekad merebut kembali daerah Priangan Selatan yang dikuasai Belanda. Kurangnya dukungan Amerika Serikat yang efektif pada Indonesia, dan lemahnya posisi militer Republik, menyebabkan Rl harus mengalah lebih banyak ketika tercapai Persetujuan Renville, 19 Januari 1948. Daerah Republik diperkecil menjadi kurang dari sepertiga Pulau Jawa. Hasil perundingan ini menimbulkan situasi lebih buruk di Jawa Barat. Terjadilah kemudian hijrah itu. Jauh dari pengertian Kartosuwirjo, pasukan TNI di Jawa Barat harus diungsikan ke daerah Rl, dan wilayah Sunda yang penting ditinggalkan buat Belanda. Hijrah Divisi Siliwangi membuat penduduk jawa Barat merasa seperti dianaktirikan oleh Rl. Sarjana ilmu politik Amerika, George McT. Kahin, yang menuliskan penelitiannya tentang Indonesia di masa revolusi dalam buku termasyhur Nationalism and Revolution in Indonesia, memperkirakan 35.000 prajurit Siliwangi ikut hijrah, sementara sekitar 4.000 orang tetap bertahan di tempat. Tapi dari keterangan penduduk setempat kepada Hiroko, perbandingan antara mereka yang hijrah dan yang tidak ialah empat banding satu. Tampaknya, baik TNI maupun laskar secara spontan menentang hijrah. Menurut keterangan, paling sedikit satu batalyon TNI menanggalkan seragamnya dan tetap berada dekat kota-kota besar untuk membantu laskar. Di antara mereka termasuk, antara lain, Batalyon Sugiharto dan Brigade l/Tirtayasa. Sebagian besar anggota Hizbullah - baik yang jadi anggota Resimen Tentara Perjuangan maupun yang tidak - juga tetap di tempat. Sedangkan dari Sabilillah tak seorang pun mematuhi Persetujuan Renville. Juga beberapa kesatuan lain, termasuk dua batalyon di bawah pimpinan Jenderal Fatah. Untuk memperkukuh sukses militernya di Jawa Barat, Belanda mendirikan pemerintah boneka Negara Pasundan pada 26 Februari 1948. Perkembangan ini penting, karena gerakan DI didirikan waktu itu bukan hanya untuk mempertahankan Jawa Barat secara militer terhadap Perjanjian Renville. Melainkan juga - atas nama Islam - menentang berkuasanya kembali Belanda seperti diwujudkan dalam Negara Pasundan itu. Pada 10 dan 11 Februari 1948, diadakanlah apa yang kini dianggap sebagai "konperensi DI" yang pertama - di Desa Pangwekusan, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Para pemimpin Islam tampaknya tidaklah berhasrat mendirikan suatu negara Islam dengan segera ataupun mengorganisasikan dan mengkoordinasikan semua sisa pasukan bersenjata di bawah kendali mereka. Pertemuan itu melahirkan suatu koordinasi yang tidak ketat atas berbagai kelompok perjuangan Islam dan nonlslam, yang strukturnya mirip MPPP yang lama. Nama DI sudah dipakai, ketika itu, tapi hurufhuruf DI tidaklah dimaksudkan sebagai singkatan Dar ul-lslam - melainkan Daerah Igerakan tersebut, yang tujuan utamanya merebut kembali Jawa Barat dari Belanda. Menurut Kiai Yusuf, yang dimaksud Daerah I ialah daerah-daerah pertahanan penting, tempat terdapatnya sejumlah besar pasukan Indonesia, sedangkan Daerah ll (D ll) ialah daerah yang dikuasai Belanda, tempat pasukan pro-Republik dalam keadaan terpencar-pencar. Dalam pertemuan itu segera ditentukan struktur organisasi gerakan perlawanan sementara, yang dipertegas dalam konperensi kedua dua bulan kemudian di Cipeundeuy. Dalam struktur itu gerakan itu ternyata lepas dari Masyumi (partai pemerintah yang waktu itu bertanggung jawab atas pelaksanaan Persetujuan Renville) dan pengaturan gerakan dilakukan di bawah pimpinan Majelis Islam. Bulan-bulan berikutnya, yang diperdebatkan para anggota kelompok itu tampaknya status gerakan mereka terhadap Rl. Kelompok Islam pengikut Kiai Yusuf menganggap, gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik kesatuan adalah langkah yang terlalu jauh. Tapi perbedaan pendapat semacam ini diselesaikan dengan kembali ke tempat masing-masing untuk memusatkan perhatian menghadapi Belanda. Ketika itulah TII didirikan, dan Kartosuwirjo hanya dengan kelompok Hizbullah Tasikmalaya yang dipimpin Oni. Dalam perkembangan kemudian Oni diangkat sebagai "perdana menteri Negara Islam". Kartosuwirjo terus menyiapkan rencananya dengan mengadakan konperensi ketiga di Cijoho, bulan Mei. Dewan Fatuz (Dewan Pertimbangan Agung) didirikan, berikut Dewan Imamah (Dewan Menteri) yang dipimpin Karto sendiri dan mempunyai 10 kementerian. Dipersiapkan pula Kanun Azasy (UUD) untuk membentuk Jumhuriah (Republik) yang dipimpin seorang imam dan berdasarkan Al Quran dan Al Hadis. Pada 5 Mei 1948, ia memproklamasikan dirinya sebagai imam. Dan meski tidak lagi mengakui Republik Kesatuan, "pemerintah" DI tetap pro-RI dan bukan pro-Belanda. Daerah yang dapat dikuasai tentara Islam-nya adalah pegunungan Jawa Barat, tempat kepentingan ekonomi Belanda tak begitu berarti. Aksi Militer ke-2, 19 Desember 1948, dan berantakannya pemerintah Rl di Yogya karena para pemimpinnya ditangkap Belanda, merupakan titik balik bagi Rl dan "pemerintah" DI. Bulan-bulan berikutnya DI mulai menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Rl. Para kiai dan ulama Jawa Barat yang setia kepada Rl, karena terdesak serangan Belanda yang gencar kini bergabung dengan DI atau membantu operasinya - karena DI-lah yang mereka anggap inti perlawanan rakyat yang sesungguhnya. Dan sebagaimana lazimnya di zaman kacau, para perampok pun ikut memancing di air keruh dengan mengatasnamakan DI. Bertambahnya pengikut menjadikan taktik DI semakin tak kenal kompromi. Ketika Siliwangi masuk kembali ke Jawa Barat, awal 1949, mereka sering masuk perangkap DI. Menerobos daerah pegunungan malam hari untuk menghindari Belanda, tentara Siliwangi tak tahu perubahan sikap DI terhadap Rl. Tanpa curiga mereka menerima undangan makan tentara DI, dan akhirnya masuk perangkap berikut senjata mereka. Menurut beberapa keterangan yang diperoleh Hiroko, sikap DI yang menentang Siliwangi itu mungkin disebabkan kekhawatiran Kartosuwirjo: kalau operasi militer Siliwangi sukses di Jawa Barat, kekuasaan Rl akan pulih di situ. Proklamasi Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1948, di Desa Cisampak, Kecamatan Cilugalar, Kabupaten Tasikmalaya, agaknya merupakan hasil pertimbangan Kartosuwirjo yang cermat. Akibat persetujuan Roem - van Royen (7 Mei), pemerintah Rl dikembalikan ke Yogyakarta (Juli), sementara pada 1 Agustus persetujuan gencatan senjata ditandatangani Belanda dan Rl. Perlawanan gerilya dan sikap nonkooperasi penduduk makin meningkat. Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda terpaksa setuju membicarakan syarat-syarat pemindahan kekuasaan dengan Rl dalam Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Dan bagi Kartosuwirjo, perubahan situasi yang cepat ini juga memberi isyarat: DI harus segera menentukan sikap. Proklamasi Negara Islam Indonesia itu agaknya merupakan reaksi pula atas surat yang dikirimkan kepada Kartosuwirjo dua hari sebelumnya, 5 Agustus. Datangnya dari menteri penerangan Rl, M. Natsir, yang juga pimpinan Masyumi, yang menyatakan keinginan pemerintah untuk mencegah perpecahan yang lebih parah. Sudah lama diketahui sikap Kartosuwirjo yang menentang pembentukan negara federal seperti diusulkan Belanda. Tapi pada kenyataannya, proklamasi Nll tampak sebagai tuntutan otonomi wilayah. Jadi, akan muncul suatu negara tersendiri di samping Rl dalam suatu federasi yang lebih besar sebagai "negara dalam negara" - bila Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Satu hal yang pasti: proklamasi Kartosuwirjo melahirkan dukungan moril yang lebih besar dari kelompok-kelompok Islam Jawa Barat. Ketika 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Rl, DI menguasai sebagian besar wilayah pegunungan di selatan provinsi itu, dari Banten ke Priangan. Namun, bila Kartosuwirjo benar-benar bermaksud membentuk satu negara bagian dalam federasi yang lebih besar, peluang itu sudah tertutup ketika Rl membentuk negara kesatuan dengan membubarkan semua negara bagian ciptaan Belanda. Dengan demikian Kartosuwirjo dan DI-nya dibiarkan tak punya pilihan lain, kecuali meneruskan perlawanan terhadap Rl yang dianggapnya "negara sekuler". Semua orang yang diwawancarai Hiroko praktis menyebutkan dua hal tentang DI-TII/Kartosuwirjo. Mereka mengakui, tujuan DI memang benar, tapi caranya bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Mereka juga sependapat, karena sifat ambisius dan agresif Kartosuwirjo, gerakan DI tidak mendapat dukungan dan tidak bisa bertahan lama. * * * Sebuah gejala yang sangat aneh dan paling menarik dari semua permasalahan DI Kartosuwirjo adalah ini: Sang imam ternyata sedikit sekali mendapat pendidikan Islam. Ia tak pernah belajar di pesantren. Pengetahuan Islam sebagian besar didapatnya dari buku-buku Belanda, ditambah belajar tasawuf dari beberapa kiai di Priangan, termasuk Kiai Mustafa Kamil, Kiai Ramli, dan Kiai Yusuf. Tapi kekurangannya ini diimbangi kelebihan lain. Meski lebih lama tinggal di kota, Kartosuwirjo dianugerahi kemampuan memimpin desa secara karismatis. Pikirannya yang tajam, kepandaiannya bicara, terlebih lagi pribadinya yang menonjol, menutupi kekurangannya: suara yang kecil dan lemah serta tampangnya yang tak menarik. Gaya bicaranya yang tak kenal kompromi sering menggugah nurani pendengarnya. Ia jelas memiliki sifat-sifat yang di kalangan orang Jawa dikenal sebagai "jago". Orang seperti ini - menurut anggapan penduduk desa yang lugu - sangat yakin akan tujuannya, dan tak takut kepada siapa pun kecuali Tuhan. Orang penuh karisma seperti ini menimbulkan rasa segan pada orang lain. Di kalangan petani desa yang lugu dan tak berpendidikan, yang sudah lama berharap munculnya Ratu Adil, kepribadian Kartosuwirjo mendapat tempat. Menurut seorang bekas pengikutnya, Kartosuwirjo mengaku menerima perintah Tuhan untuk menjadi imam khalifah di dunia. Para pengikutnya pun lalu menyebutnya Imam, bukan Kiai. Mungkin benar Kartosuwirjo telah mengeksploatasikan masyarakat desa yang bersahaja, lugu, dan buta huruf. Tapi tak banyak diketahui bagaimana ia memupuk perasaan antikolonialismenya. Yang bisa diketahui cuma pengetahuan itu didapat selama jadi pembantu pribadi Tjokroaminoto. Ketika itu ia banyak belajar politik dan pergerakan. Keputusannya kembali ke Bojong, Malangbong, setelah sakit, di sisi lain besar pengaruhnya pada sikap radikalnya di kemudian hari. Desa itu tak jauh letaknya dari jalan raya Tasikmalaya - Bandung, dan banyak digunakan tuan-tuan Belanda dari onderneming di Priangan Timur. Di sana pulalah ia banyak menyaksikan hal-hal serba pincang dalam kehidupan rakyat desa yang diperas para pejabat perkebunan Belanda itu. Sementara itu, dengan ikut sertanya ia secara aktif dalam kampanye Bait al-Mal di seluruh Jawa, berubah pulalah peranannya dari pemimpin politik menjadi pemimpin sosial. Keteguhannya akan cita-cita Islam terlihat dalam cara hidup yang dilaksanakannya di Suffah. Konsekuen mengikuti teladan Nabi Muhammad s.a.w., ia selalu berpakaian sederhana, dan ikut kerja kasar meski hanya sebentar. Sebagai orang tasawuf sejati, ia menggunakan waktu berjam-jam untuk berzikir. Penduduk desa menghubungkan kemampuan Kartosuwirjo mengumpulkan pengikut dengan apa yang mereka sebut kekuatan gaib yang dimilikinya. Hal ini penting, karena berbagai kisah tentang kekuatan gaibnya itu membantunya bertahan begitu lama dan dengan leluasa. Penduduk menggambarkan pengikut Kartosuwirjo terdiri atas orang kecil, orang bodoh, orang merah (komunis), dan orangJawa - seakan hendak menyatakan tak ada orang Sunda di antara mereka. Tapi nyatanya komposisi pimpinan DI sangat berbeda. Para pembantu dekat, atau apa yang disebut "menteri-menteri DI", umumnya orang-orang yang sudah dikenalnya sejak zaman Suffah dan KPK. Mereka termasuk Kamran, Ateng Setiawan, dan murid-muridnya, seperti Zainal Abidin, Tomi, Oni, Bakar (bupati DI di Garut), dan Sudjadi ("menteri keuangan DI"). Mereka sebagian besar orang Sunda dari Garut dan Tasikmalaya. Sementara itu kelompok satria bertanggung jawab melindungi para pemimpin tertinggi dari ancaman luar. Para satria ini terdiri dari prajurit bekas angota Hizbullah Kartosuwirjo di zaman pendudukan Jepang. Sedangkan pasukan TII, yang biasa terdiri atas para petani dan perampok, ada yang datang dari Jawa Tengah. Jenderal Ibrahim Adjie, yang menjadi panglima Siliwangi ketika Kartosuwirjo tertangkap, berpendapat bahwa desas-desus tentang kekuatan gaib Kartosuwirjo semakin dipercaya karena ia selalu menjauh dari sebagian besar pengikut. Ada kemungkinan, pimpinan DI itu memanfaatkannya sebagai "tameng" terhadap anak buahnya, dengan maksud mereka tak mudah berhubungan dengan sang imam. Tujuannya barangkali taktis: Kartosuwirjo melarang juga dirinya dipotret, sehingga anggota DI/TII yang bergerak di lapangan, apalagi para pemburunya, tak pernah mengenal wajahnya. Ada yang mengatakan, untuk bertemu Imam orang harus melalui tujuh lapis penjaga yang terdiri atas 300 prajurit DI/TII. Yang tahu di mana Kartosuwirjo berada hanya para pembantu terdekatnya. Ada pula yang percaya ia bisa menyamar, menghilang, dan kebal peluru. Semua ini menjelaskan mengapa ia selama lebih dari sepuluh tahun bisa menghindar dari kejaran TNI. Toh ia berbuat satu kesalahan besar yang menyebabkan baian terbesar masyarakat memusuhinya: membiarkan anak buahnya melancarkan teror di mana-mana, terutama di pedesaan. Teror ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan politik ataupun cita-cita Islam, dan sampai akhir 1950-an DI/TII tak lebih dari organisasi teroris yang tak didukung rakyat. Kendati begitu, beberapa kelemahan pemerintah Jakarta 1950-an menyebabkan tindakan tegas terhadap DI tak dapat diambil, dan ini membantu makin luasnya gerakan itu. Masyumi, yang antara 1950 dan 1953 duduk dalam pemerintahan, lebih suka masalah DI diselesaikan lewat perundingan. Mereka khawatir tindakan tegas pemerintah akan menyebabkan merosotnya dukungan rakyat pada mereka dalam pemilihan umum nanti. Pihak milite pun tak sampai hati berbunuhan dengan saudara sebangsa, meski kurang senang dengan sikap pemerin tah. Padahal, dari segi militer, masa 1951 - 1953 merupakan saat terbaik untu menyelesaikan masalah DI TII: Indonesia waktu itu belum dikacaukan berbaga pemberontakan lain. Kartosuwirjo baru bisa di lumpuhkan pada 4 Juni 1962 Tapi bagaimana ia ditangkap dan di mana, keteranganny simpang-siur. Pihak tentan menyebutkan, ia tertangkap di Gunung Goger di Priangar Tengah, oleh pasukan elit Kujang dari Siliwangi. Sumber lain menyebutkan, ia dipergoki patroli tentara di Gunung Geber, antara Bogor dan Cianjur. Sementara itu keterangan yang diperoleh Hiroko menyebutkan, ia tertangkap di Gunung Haruman dekat Leles, Garut, dalam operasi pagar betis. Selama dua bulan berikutnya ia diinterogasi, dan 18 Agustus 1962 ia dan beberapa pengikutnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Pelaksanaan hukuman dilakukan secara rahasia - 12 September 1962. * * * Ketika Kartosuwirjo dipecat dari PSII tahun 1940 Kiai Yusuf pun mengundurkan diri dari partai dan membantu dia dengan KPK dan lembaga Suffah-nya. Tapi setelah itu Yusuf tak pernah aktif lagi dalam politik. Ketika pertengahan 1948 perselisihannya dengan Kartosuwirjo makin menjadi, banyak pengikut Yusuf di Hizbullah memilih tetap ikut DI/TII Kartosuwirjo- di antaranya dua sepupunya. Sebagian besar pemuda desa lainnya, yang sudah dilatih militer oleh Jepang dan masuk TNI, ikut hijrah ke Yogya. Yang tetap mengawal Yusuf di Cipari adalah pasukan Hizbullah, yang terdiri atas anak-anak tanggung yang baru belajar memegang senjata, di samping sejumlah pengungsi dari Sindangheula. Pasukan Belanda, yang ketika itu ditempatkan di Bakanloa - 1 km sebelah selatan Cipari - tak tahu betul sikap penduduk terhadap mereka. Karena itu mereka memberikan latihan militer kepada penduduk untuk mempertahankan diri terhadap DI/TII. Seorang perwira Belanda di Garut bahkan berjanji mengirimkan senjata dan peluru. Belanda sungguh tidak tahu sama sekali sikap Kiai Yusuf, yang ketika Negara Pasundan dibentuk mereka tawari jabatan "menteri agama" - yang ditolaknya dengan alasan "kesehatan". Ketika terjadi Aksi Militer Belanda ke-2, dan ketika Siliwangi kembali ke Jawa Barat, awal 1949, Cipari mempersiapkan diri lebih baik di bidang militer. Prajurit TNI yang kembali ke desa dilaporkan kepada Belanda sebagai siswa santri yang sedang berkeliling untuk belajar di pesantren desa itu. Kiai Yusuf memimpin pasukan Hizbullah-nya yang baru diperkuat, dan dari markas besarnya di Cipari mengatur gerakan gerilya pasukan-pasukan di Cibatu, Pasanggrahan, dan Sukawening. Sasaran mereka: garnisun Belanda di Cibatu. Operasinya selalu dilakukan malam hari, dipimpin prajurit profesional Siliwangi. Cukup lama Belanda tak dapat mengetahui siapa pemimpin gerilya yang sering mengganggu mereka itu, dan letak markasnya. Kiai Yusuf dan keluarga, yang sudah berpengalaman melawan Belanda sejak zaman penjajahan, memperlihatkan sikap pura-pura tunduk. Dan ketika Belanda mengetahui siapa pemimpin gerilya itu, Yusuf masih bisa lolos dari pemeriksaan perwira Belanda yang ditemuinya di jalan. Ketika kemudian operasi gerilya makin gencar, dan dikeluarkan perintah menangkap Kiai Yusuf, ia beralih ke gerakan bawah tanah dalam arti kata sesungguhnya. Di sebidang tanah kering, di kebun pisang, digali lubang menuju ruangan seluas 2 m2 di bawah tanah. Di atas, lubang ditutupi rumput kering, dan tak seorang pun penduduk diberitahu. Selama siang hari Kiai Yusuf dan seorang muridnya, Profesor Musaddad (salah seorang sesepuh NU kini), tinggal di sana, dan baru keluar malamnya. Untuk menghadapi keadaan darurat digali sebuah lubang lagi tepat di bawah tempat tidur kayu di dalam rumah. Senjata - yang dicuri atau dibeli dari Belanda ditinggalkan Jepang, atau dibawa TNI - disimpan di rumah seorang janda penduduk desa, karena dialah orang paling akhir yang akan dicurigai Belanda jika ada apa-apa. Karena kegiatan gerilya ini Desa Cipari termasuk yang sering diinspeksi Belanda. Tapi pada suatu ketika penyakit cacar menyerang Cipari, dan beberapa penduduk terpaksa dibalut perban selama sebulan. Keadaan ini selanjutnya dimanfaatkan Kiai Yusuf dengan memerintahkan agar penduduk tidak membuka perban, meski sudah sembuh. Di jalan masuk ke desa dipasang papan bertuliskan: "Ada wabah cacar di desa ini, jangan masuk". Suatu hari, 1949, operasi gerilya-baru direncanakan untuk sebelas hari kemudian. Surat-surat perintah sedang disebarkan, dan senjata pun lagi dibersihkan. Tiba-tiba Belanda menginspeksi Cipari. Biasanya mereka datang lewat gerbang desa tapi hari itu enam perwira, seorang di antaranya asal Ambon, masuk dari jalan pematang sawah. Ketika itu sudah hampir magrib penduduk sedang sibuk memandikan anak atau memasak. Adik perempuan Kiai Yusuf, yang ikut mengalami hal ini, berkisah, "Saya sedang ngobrol dengan ipar perempuan saya di rumahnya, dekat pintu masuk desa. Tiba-tiba saya lihat seorang abang ipar saya berjalan mengangkat tangannya ke atas, digiring enam perwira Belanda. Saya tahu, abang ipar saya itu menyembunyikan seragam TNI dalam sarung yang dililitkan di pundaknya. Saya lari ke luar rumah dan menyambut Belanda-Belanda itu dengan memperlihatkan wajah seramah mungkin. Saya berusaha mengajak mereka ke rumah ipar perempuan saya, sementara ia keluar memberitahu Kiai Yusuf. Tapi sia-sia." "Hari itu Kiai Yusuf kebetulan sedang bersantai, tak masuk lubang persembunyian. Dekat rumahnya di depan masjid ia mendengar orang berteriak, 'Belanda datang di Cipari!' Tapi dikiranya yang dimaksud Cipari Babakan, desa sebelah timur. Merasa masih cukup waktu memanggil anaknya (anggota TNI yang sedang cuti), ia lari lewat pekarangan ke lubang persembunyian. Tapi Belanda sudah memergokinya." "Sesampai di rumah, saya lihat dua abang saya, lalu Prof. Musaddad, ibu saya, dan adik-adik perempuan saya, semuanya sudah di dalam. Tak seorang pun diizinkan masuk oleh Belanda. Jadi saya keliling rumah, mencoba berbuat sesuatu. Belanda mencari dokumen dan senjata. Mereka menyita enam mesin ketik, semua dokumen, dan tujuh senapan. Saya suruh keponakan saya pergi diam-diam ke rumah janda tempat penyembunyian senjata, agar menyembunyikan ke-20 senjata dan peluru di pekuburan dan empang ikan. Kiai selalu memberitahu saya jika terjadi apa-apa atas dirinya, dan ia tak bisa melanjutkan perjuangan, sayalah yang harus melanjutkannya," demikian adik perempuan Kiai. "Ketika ayah dan abang tertua saya ditahan Belanda karena peristiwa Cimareme, 30 tahun yang lalu, Kiai Yusuf-lah yang melanjutkan perjuangan mereka. Kini rupanya giliran saya. Ketika Kiai dan para kepala keluarga dibawa Belanda, anak-anak desa yang kehilangan orangtuanya - karena DI dan revolusi menangis dan berteriak: 'Jangan tunggu sampai besok pagi, tapi kembalikan mereka malam ini juga.' Abang saya baik terhadap anak-anak itu. Selalu memperhatikan mereka, memberi mereka makan dan pakaian. Doa anak-anak tak berdosa ini selalu didengarkan Tuhan." Di garnisun Belanda di Bakanloa, para tahanan diperlakukan dengan baik. Yang pertama diinterogasi ialah keponakan Kiai, anggota TNI yang sedang pulang ke desa. Ia berkisah, "Saya katakan kepada mereka, senjata yang disita itu hanya untuk mempertahankan diri terhadap DI, bukan Belanda. Dan, ya Allah! Engkau benar-benar melindungi kami! Senjata-senjata itu, yang sudah dibersihkan dan digosok mengkilap pagi harinya, ketika itu tampak kotor dan berkarat. Bintik merah terdapa di seluruh bagian senapan itu. Bagian dalamnya juga karatan, seakan-akan sudah lama tak dipakai dan barangkali tak akan bisa dipakai untuk waktu lama. Dan ketika Belanda mencoba membaca dokumen yang disita, tinta di kertasnya kotor, tulisannya tak bisa dibaca. Allah Yang Mahakuasa benar-benar menolong kami. "Kepandaian Dr. Musaddad berbahasa Belanda juga menolong. Ia bicara dengan perwira-perwira Belanda itu. Lalu kami diberi makan, dan diizinkan salat isya. Sekitar pukul sembilan malam, tak lama setelah kami salat, garnizun menerima telepon dari Garut yang memerintahkan kami dibebaskan segera. Ini sungguh pertolongan Allah! Kiai Yusuf sendiri bahkan mengira ia tak akan pernah pulang lagi. Belakangan diketahui, rupanya ada seseorang yang memberitahu para pendukung Kiai di Garut. Mereka inilah yang mendesak pos militer Belanda di sana. "Kiai memang orang yang jujur dan baik hati. Ia tak pernah menilai orang dari asal usulnya, melainkan amal perbuatannya. Ia membantu orang Jepang ketika menyerah kepada Sekutu, dan menghentikan penduduk membunuhi orang Cina ketika pemerintah Belanda bertekuk lutut. Maka di antara pengikutnya terdapat orang Jepang, orang Cina, orang Belanda. Tapi yang sungguh aneh, siapa yang memberitahukan ditangkapnya Kiai pada hari itu ke Garut? Ketika itu tak ada orang bepergian malam hari, karena takut DI. Satu-satunya telepon dekat Bakanloa berada di pos militer Belanda itu sendiri. Allah Mahakuasa pasti telah berbuat sesuatu." "Sebelum tengah malam, kami dipulangkan ke rumah. Saya tak pernah bisa lupa betapa rasa kaget terpancar di wajah keluarga saya melihat kami kembali. Kami semua mengucap syukur alhamdulillah, dan kami bersumpah akan melanjutkan perjuangan demi dakwah Islam. Barang-barang kami yang disita tak hanya dikembalikan utuh, tapi Belanda juga berjanji menempatkan penjagaan di Cipari untuk menghadapi gangguan DI. "Hanya beberapa hari sebelum Konperensi Meja Bundar selesai (dan Belanda setuju mengakui kedaulatan Rl), kami mengundang para perwira Belanda dari Bakanloa untuk ikut berlebaran di desa. Untuk pertama kali sejak kemacetan Persetujuan Renville, semua anggota TNI di Cipari mengenakan seragam militernya dan menyanyikan Indonesia Raya di depan masjid. Tentara Belanda terheran-heran melihat begitu banyak penduduk yang jadi anggota TNI. Kami merasa bangga. Perwira-perwira Belanda yang simpatik itu pun ikut makan bersama kami untuk akhir kalinya, sebelum kembali ke negeri mereka." Pembebasan Kiai Yusuf barangkali ada kaitannya dengan kekhawatiran Belanda akan timbulnya kemarahan para petani pengikutnya. Kekuasaan Belanda yang disoroti dunia internasional saat itu sedang genting. Berhadapan dengan petani merupakan hal yang sangat dikhawatirkan Belanda, karena operasi mereka di Jawa Barat membantai rakyat merupakan isu internasional. Dan bagi penduduk desa, pembebasan Kiai dan para penikutnya itu semata-mata mukjizat, bukti pertolongan Tuhan dan berkah iman.

Senin, 01 Februari 2010

SEBUAH MENARA DALAM KEPUNGAN DI-TII




Kisah DI/TII yang menyerbu Pesantren Darussalam Cipari Wanaraja, Garut pimpinan K.H. Yusuf Tauzirie yang sebelumnya sebagai guru pimpinan puncak DI. (sel)
JAUH dari hiruk-pikuk kota dan lepas dari kawasan debu daerah industri, di tengah lingkungan hijau pedalaman, Desa Cipari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, bagai sebuah oasis. Di sana menyembul tipis Pesantren Darussalam Cipari - pada lingkaran perumahan penduduk yang sekitar 500 umpi (kepala keluara). Di kompleks pesantren yang sekitar satu hektar itu tampak asrama santri yang dihuni sekitar 30 orang, gedung madrasah aliyah, dan bangunan masjid yang berukuran sekitar 30 x 70 meter. Namun sebuah pemandangan segera mengganggu. Menara masjid, yang bergaris tengah satu meter dan tinggi 20 meter itu, tampak bagai sosok tua. Bahkan agak mengerikan: tubuh menara yang kelihatan betul tak kenal pemugaran itu penuh bekas hunjaman peluru. Sebuah serangan yang dahsyat mestinya telah terjadi - dan seolah baru kemarin sore. Memang, itu sebuah kenangan. "Biar jadi saksi sejarah perjuangan Pesantren cipari," ujar Cholid Tauzirie, 43, pemimpin Pesantren dan anak kelima dari delapan anak K.H. Yusuf Tauzirie. Yang terakhir itu adalah pendiri terpenting Pesantren dan tokoh kunci dalam kisah riwayat ini. Kisahnya memang bermain di sekitar pesantren itu. Di situlah, 17 April 1952, hampir seluruh penduduk Desa Cipari terkurung oleh ribuan pasukan Darul Islam. Pengurungan berjalan dari sehabis isya, sekitar pukul 20.00, sampai pukul 3.00 menjelang subuh. Orang-orang desa ini bertahan dengan senjata seadanya - dan sukses. K.H. Yusuf Tauzirie, yang sejak dahulu dikenal sebagai ulama besar di Jawa Barat, pernah menjadi teman perjuangan Kartosuwirjo sendiri. Bahkan juga dianggap sebagai guru spiritual pimpinan puncak Darul Islam itu. Toh cita-cita rupanya tidak sama: mereka berselisih, lalu berpisah. Dan sejak perselisihan itu Cipari menjadi kawasan panas. DI menjadikannya salah satu target mereka, sementara di sisi lain K.H. Yusuf Tauzirie mempersiapkan pertahanan. Dengan menghimpunkan senjata - yang antara lain didapatnya dari Mayof Umar Wirahadikusumah (kini jenderal, dan wakil presiden), yang waktu itu komandan Sektor Priangan Timur, Kiai Yusuf senantiasa bisa mematahkan serangan Kartosuwirjo. Seperti juga Kartosuwirjo, K.H. Yusuf sendiri sudah terlibat pergerakan kemerdekaan melawan Belanda sejak awal kebangkitan umat Islam di masa mutakhir. Ia pernah menjadi aktivis Sarekat Islam. Juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Divisi Siliwangi. Pesantrennya di Cipari, yang sudah ada sejak 1926, sering menjadi tempat pertemuan para tokoh perjuangan kemerdekaan: Pengarang Abdul Muis, Haji Agus Salim, dan H.O.S. Tjokroaminoto sendiri, antara lain. Kawasan Kiai Yusuf meliputi pula ibu kota kecamatan, Wanaraja, yang terletak sekitar tiga kilometer di timur laut Desa Cipari. Sebagian hidup kiai itu dihabiskan di kota ini bahkan ia pernah memindahkan pusat pesantrennya ke sini, khususnya setelah serangan DI pada 1952 itu. Dan sampai kini jantung pesantrennya sendiri tetap di Wanaraja. Di sini terdapat Pusat Yayasan Darussalam, dan bangunan di pusat pesantren ini pun sedikit lebih megah dari yang di Cipari. Masjid menyatu dengan sebuah aula serba guna seluas 20 x 30 meter, dan hampir bersambung dengan bangunan madrasah tsanawiyah dan sebuah sekolah lanjutan atas. Bangunan ini berlantai dua dan memiliki 14 lokal. Di kompleks ini terdapat 600 siswa tsanawiyah, 300 siswa SLA, 30 santri, serta 29 staf pengajar dan petugas administrasi. "Untuk menggaji guru-guru saja, setiap bulan anggarannya hampir Rp 2 juta," ujar Cholid Tauzirie. Masih ada pula pengajian untuk masyarakat luar, tiap malam, juga kursus mubalig, di samping Majelis Ta'lim tiap Kamis dengan peserta rata-rata 4.000 orang. Dan, sebulan sekali, diselenggarakan tausiah mubahasah atau forum diskusi untuk para ulama. Ini rata-rata diikuti 300 sampai 400 orang. Tapi puncak keramaian terlihat pada perayaan Maulid Nabi - kebetulan bertepatan dengan hari wafat K.H. Yusuf Tauzirie, 3 Maulid 1402 atau 29 Desember 1981. Ini semacam tablig akbar yang diikuti puluhan ribu jemaah dari berbagai daerah Jawa Barat. Bila upacara berlangsung, Wanaraja yang terletak sekitar empat kilometer dari Kota Garut itu berubah menjadi lautan manusia. Ciri ajaran Kiai Yusuf yang masih diikuti antara lain sikap mandiri - yang kalau perlu dipertahankan walaupun orang mengajak berselisih, seperti terlihat di masa hidupnya. Dan sampai kini, "Semua kegiatan Darussalam swadaya murni tak ada sedikit pun bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah," ujar Cholid, yang menjadi penerus. Zaman rupanya sudah menjadi saksi keteguhan sikap itu. Banyak sekali kiai yang menentang DI, tapi mungkin hanya Yusuf Tauzirie satu-satunya yang menentang dengan sangat keras dan dengan penuh risiko. Tak heran bila Hiroko Horikoshi, peneliti dari Jepang, dalam disertasinya di Universitas Cornell yang berjudul Gerakan Darul Islam di Jawa Barat (1948-1962): Pengalaman dalam Proses Sejarah, meletakkan kisah Kiai Yusuf di bagian yang penting. Berikut ini singkatan disertasi itu. * * * Antara 1949 dan 1958, Desa Cipari mengalami tak kurang dari 46 kali serangan DI - dan yang 17 menimbulkan kerusakan besar. Di desa ini pula Kiai Yusuf lahir, meski dalam kegiatan politik dan keagamaan di kemudian hari ia cukup lama tinggal di Wanaraja. Ia kembali ke Cipari dari Wanaraja pada 1946, setelah kota itu dibumihanguskan oleh sebuah sempalan gerombolan kiri yang menamakan dirinya Pasukan Pangeran Papak. Sejak DI/TII melancarkan terornya di Jawa Barat, Desa Cipari menjadi salah satu tempat berlindung penduduk desa-desa sekitar. Di Cipari pada 1933 Kiai Yusuf membangun sebuah masjid dan madrasah, dan sudah jadi kebiasaan penduduk desa sekitar mengungsi ke masjid dan madrasah itu sehabis lohor. Mereka membawa perlengkapan sekadarnya dan memasak makanan di halaman masjid. Terus menginap, dan baru kembali ke desa masing-masing esok harinya. Setelah pengakuan kedaulatan, Divisi Siliwangi menempatkan satu kompi pasukan di sana untuk menghadapi gangguan DI/TII. Dengan semakin meningkatnya keganasan gerombolan di daerah sekitarnya, semakin banyak pula penduduk - sampai ribuan orang - mengungsi ke Cipari. Di Cipari, yang pertama-tama mengetahui kedatangan gerombolan DI/TII adalah seorang kiai, sepupu Kiai Yusuf dari pihak ibu. Rumahnya kebetulan terletak di tepi jalan ke arah desa, dan di malam hari mereka sekeluarga biasa pula mengungsi ke Cipari. Kepada Hiroko inilah sang kiai, dan berbagai tokoh lain, mengisahkan pengalaman mereka. * * * "Pada hari itu saya menghadiri rapat di Cimahi, dan baru sore hari kembali ke rumah," tutur Kiai. "Saya sedang berganti pakaian ketika istri saya membisikkan, ada patroli di luar rumah. Segera saja saya menyadari bahwa itu bukan patroli biasa - dari pos polisi kecamatan - melainkan sepasukan DI/TII yang sedang bergerak ke arah desa. Saya tarik badan istri saya, dan kami bersembunyi di balik tirai sambil mengintip. Tidak biasanya TII datang ke desa sesore itu, dan dari arah selatan pula. Biasanya mereka muncul dari gunung-gunung sebelah utara. Hari itu saya terlambat pergi ke madrasah, tapi hal itu pulalah yang menyelamatkan jiwa kami." Di Cipari suasananya berbeda. Adik perempuan Kiai Yusuf, Hajah E. Kuraesin, berkisah, "Kami mendengar berita pasukan DI/TII sudah mendekati Cipari menjelang isya, sekitar pukul setengah tujuh malam. Sejak magrib, sebagian besar penduduk yang mengungsi ke Cipari sudah masuk ke gedung madrasah. Tapi karena rumah kami berdekatan dengan madrasah, kami masih berada di rumah. Kakak perempuan saya, yang selalu kebingungan jika ada hal-hal yang tak lazim, mulai berteriak-teriak, "DI sudah datang!" la melompat ke sana kemari. Mula-mula saya tak percaya, karena masih terlalu sore. Tapi ketika saya lihat rumah di seberang rumah kami mulai dimakan api, kemudian mendengar hinyi kentongiln dipukul, keraguan saya lenyap. Ibu saya, yang berusia delapan puluh tahun, meloncat lewat jendela bersama dua cucunya. Melalui pekarangan rumah mereka berlari ke madrasah. Saya membantu kakak saya yang ketakutan, dan kami selamat juga sampai di madrasah. Di sanalah saya mengetahui: abang ipar saya sudah ditembak mati DI/TII mayatnya dilemparkan ke salah satu rumah yang terbakar. Saya harus menenteramkam anak-anaknya yang dilanda ketakutan. Abang ipar saya itu ternyata terlambat pulang dari pengajian di desa berdekatan. Ketika ia lari ke luar rumah, setelah mendengar bunyi kentongan, saat itulah peluru TII menghabisi nyawanya. Empat penduduk lain mati dengan cara yang sama, termasuk seorang anak laki-laki sepupu saya." "Waktu itu abang saya, Kiai Yusuf, sudah bertada di puncak masjid. Adanya menara ini rupanya memang sudah takdir Tuhan. Karena, saya ingat benar, ketika abang saya mendirikan kompleks masjid-madrasah itu kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya, dalam rencana yang dibuat tidak ada gambar menara itu. Tapi karena satu dan lain hal abang saya berkeras menambahkannya - diletakkan di antara masjid dan madrasah. Berkat Allah jugalah - karena ternyata ribuan orang telah diselamatkan dari maut dalam peristiwa itu." Kesulitan pertama dirasakan oleh mereka yang bertahan dan panik itu: persenjataan sama sekali tak cukup. Yang ada hanya tujuh pucuk senapan, di samping pistol Kiai yang buatan Kanada. Lima karaben Jepang di antaranya - peninggalan pasukan Siliwangi - dan dua senapan dorlok buatan dalam negeri ternyata kurang ampuh. "Yang banyak pada kami, granat," tutur Hajah Kuraesin. Pada saat menegangkan, dalam ancaman maut, si adik ini justru ingat seorang keponakannya, laki-laki. Pemuda itu bekas prajurit Peta yang aktif di Siliwangi, tapi ketika itu sedang bertugas ke Jakarta. "Saya benar-benar kehilangan dia." Tapi para pengawal pribadi Kiai Yusuf menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Mereka juga cekatan, dan sikap inilah yang menenteramkan penduduk. Mereka itu para pengungsi dari Desa Sindangheula lemah lembut sikapnya, rendah hati, dan lugu. * * * Tembak-menembak pada 17 April 1952 itu berlangsung sampai pukul tiga pagi. Sekitar 3.000 anggota TII melakukan tiga kali serangan. Dan Kiai Yusu berdiri di puncak menara, melemparkan granat kepada TII yang sedang maju di bawah. Dalam nyala api rumah yang terbakar, bayangan tubuhnya tampak dari jauh bagai wayang kulit bergerak-gerak di layar. Semua jendela madrasah pecah kena peluru, dan banyak pengungsi dalam madrasah terluka kena pecahan kaca. Seorang anggota pengawal Kiai, Bohim namanya, berdarah di dahi tapi terus menembak. "Saya berkeliling bangunan itu, membantu merawat yang luka-luka. Seorang wanita, pengungsi dari Sindangheula, tertembak ketika sedang berjalan menuju madrasah. Peluru yang menembus badannya melukai pula bayi yang sedang digendongnya. Ibu dan anak meninggal ketika itu juga," tutur Kuraesin. Karena terus-terusan dipakai, dua senapan di pihak Cipari kepanasan dan rusak. Jadi tinggal lima saja, tapi tak lama kemudian satu lagi rusak. Salah seorang pengawal Kiai, Oyoh, kehabisan peluru. Ia mengambil keputusan nekat: mengorbankan nyawanya untuk keselamatan Kiai. Katanya, itulah sumbangannya yang terakhir. Dengan menggenggam sebuah granat tangan, dan tanpa menghiraukan orang lain yang berusaha mencegahnya, ia lari ke luar. Ia menghampiri beberapa anggota TII, lalu melemparkan granatnya. Sebelum ia bisa kembali ke madrasah, peluru membuatnya roboh. Karena sangat kekurangan peluru - sedang granat cukup banyak - Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya menembak sasaran yang sedang maju saja. Tiap serangan TII berlangsung dua sampai tiga jam. Lalu istirahat kira-kira setengah jam, sebelum mulai menembak lagi. "Kami benar-benar berharap, TNI akan segera datang dan menyelamatkan kami sebelum TII menguasai desa dan menghancurkan kami semua," tutur Kuraesin. Belakangan diketahui, TNI memang sudah berada di tikungan jalan raya sekitar satu setengah kilometer dari desa - tapi tak bisa menembus garis kepungan TII. Di dalam madrasah orang terus berdoa. Anak-anak menangis. Saat paling mengerikan tiba ketika TII mencoba mendobrak tembok barat masjid. Karena tembok itu menghadap kiblat, tak ada jendela di sana - dan karena itu tak ada tempat untuk menembakkan senapan. Untung tembok itu terlalu tebal - pondasi batunya saja satu setengah meter tingginya. Mereka kemudian melemparinya dengan sebuah granat, tapi hanya terbuat lubang sangat kecil yang tak bisa dimasuki laras senapan. Tiga orang lagi penduduk tewas. Pertama adalah Bulo, yang mencoba melemparkan granat kepada TII tapi meleset. Granat itu mengenai jendela, lalu terpental kembali dan merenggut nyawanya. Yang dua orang lagi kena peluru TII. "Dengan kekuatannya yang jauh lebih besar dan serangannya yang gencar, toh TII tak berhasil menghabisi kami," cerita Kuraesin. "Pihak kami hanya menderita korban sebelas jiwa - empat anggota pasukan pengawal dan tujuh penduduk. Ini pasti pertolongan Allah. Senjata kami hanya tujuh buah senapan, sedangkan TII ribuan." TII mundur ketika subuh tiba. Baru setelah semua menyingkir ke pegunungan, orang-orang Cipari yang bertahan di madrasah berani keluar. Matahari sudah tinggi, dan penduduk menyaksikam rumah mereka yang sudah jadi abu. "Untunglah rumah saya hanya separuh terbakar. Bagian rumah tempat saya menyimpan makanan masih utuh. Abang saya selalu memperingatkan agar kami menyimpan makanan di beberapa tempat. Jika persediaan di satu tempat terbakar, masih ada yang lain. Saya menyuruh anak-anak perempuan saya menyiapkan makanan bagi penduduk yang selamat. Semua orang kelaparan, tapi mereka tak bernafsu makan. Rasa takut dan kaget lama sekali baru bisa pupus dari ingatan kami. Sebagian ada yang kehilangan orang yang paling dikasihi, dan harus mengumpulkan tulang-belulangnya dari puing rumah yang terbakar." Tak lama kemudian datanglah rombongan Palang Merah Indonesia dari Garut membawa makanan dan pakaian. Sorenya datang pula gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata dari Bandung, bersama Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Simatupang dari Jakarta. Mereka menyatakan belasungkawa dan sekaligus kagum akan keberanian pasukan pengawal. Ikut pula seorang dokter Jerman untuk merawat yang luka-luka. Baru beberapa hari kemudian kehidupan di Cipari pulih kembali. Tapi, ternyata, berlusin-lusin mayat TII ditemukan penduduk di sawah dan empang ikan. Untuk waktu yang lama tak ada orang yang mau bekerja di sawah ikan di empang pun tak ada orang yang mau memakan. Rasa takut tetap menghantui penduduk, terutama wanita dan anak-anak. Bertahun-tahun sesudah itu beberapa wanita yang sudah berumur masih ketakutan jika mendengar lankah kaki oran di luar rumah pada tengah malam. Kiai Yusuf lalu pindah kembali ke Wanaraja. Tempat tinggal serta masjidnya diperbaiki para pengikut. Keberaniannya malam itu menjadikannya pahlawan di mata rakyat. Bertahun-tahun kemudian penduduk masih menyebut-nyebut mukjizat itu, dan selalu menghubungkannya dengan Kiai Yusuf. Penduduk percaya, kiai itu telah mencapai tingkat ma'rifat, kedudukan tertinggi dalam tasawuf. Ia dianggap memiliki kekuatan gaib. Menara masjidnya, yang dibiarkan tetap dalam keadaan seperti waktu terjadinya serangan DI/TII, berdiri tegak sebagai saksi. Banyak penduduk setempat sekembali dari rantau, misalnya yang jadi buruh musiman di kota, yang pertama mereka lakukan ialah menaiki menara itu. * * * Dengan serangan besar-besaran pertengahan April 1952 itu, Kartosuwirjo sebenarnya bermaksud menghabisi Kiai Yusuf beserta keluarga dan para pengikutnya. Ini merupakan puncak pertentangan antara kedua tokoh, setelah Kiai Yusuf mencabut dukungannya pada gerakan DI/TII yang dianggapnya menyimpang. Padahal kedua orang itu sudah bersahabat selama kurang lebih 20 tahun. Kedua keluarga mereka juga selalu bahu-membahu. Mertua Kartosuwirjo, Ardiwisastra, adalah tokoh PSII Jawa Barat pada tahun-tahun permulaan berdirinya organisasi itu. Istri Kartosuwirjo, Wiwiek, aktivis PSII yang militan, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) di Garut. Antara 1931 dan 1938 Kiai Yusuf duduk dalam Dewan Sentral PSII, dan saat itulah ia berkenalan dengan Kartosuwirjo. Hubungan mereka akrab, sehingga Yusuf menjadi salah seorang penasihat Karto. Kadang-kadang Yusuf yang berkecenderungan berat tasawuf itu dianggap bertanggung jawab atas kegemaran Kartosuwirjo pada hal-hal gaib. Beberapa peneliti malah mengatakan, Kiai Yusuf sebenarnya pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan DI pada tahap permulaan. Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer. Hanya, sudah sejak permulaan pula kelihatan watak Kartosuwirjo yang ambisius. Keluarga Kiai Yusuf sudah aktif dalam pergerakan politik Islam sejak Sarekat Dagang Islam didirikan tahun 1911 - yang kemudian menjadi Sarekat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Pada tahun 1919, di Garut terjadi apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Cimareme. Dalam peristiwa ini seorang bernama Haji Hasan dan anak laki-lakinya mengadakan perlawanan bersenjata terhadap usaha pemungutan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam penyelidikan kemudian, Belanda membongkar pula suatu gerakan rahasia yang disebut Afdeling B Sarekat Islam (Sl) yang hendak menggulingkan pemerintah kolonial. Gerakan itu dimulai oleh Haji Ismail pada 1917, dan menurut keterangan yang dikumpulkan Hiroko sifatnya jauh lebih luas daripada apa yang sudah diungkapkan saat ini - karena antara lain melibatkan pula Kesultanan Cirebon. Tujuan mereka ialah memasukkan senjata dari Rusia ke Jawa melalui pelabuhan Cirebon. Sementara itu Kartosuwirjo memulai karier politiknya di Jong Java tahun 1923, ketika masih belajar di sekolah dokter di Surabaya. Ketika kelompok Islam dalam organisasi ini memisahkan diri dua tahun kemudian untuk membentuk Jong Islamieten Bond, Kartosuwirjo pun ikut. Ia dipecat dari sekolahnya. Kemudian diangkat anak oleh H.O.S. Tjokroaminoto, dan di jadikannya sekretaris pribadinya sejak 1927 sampai 1929. Tahun itu pula ia jatuh sakit, lalu pindah ke desa asal istrinya, Bojong, Malangbong, Jawa Barat. Toh ia tetap bisa aktif dalam pergerakan sebagai komisaris PSII untuk Jawa Barat. Dua tahun kemudian, pada usia 26, ia menjabat sekretaris jenderal PSII - sampai 1936. Pada 1936 tercatat adanya dua kubu dalam partai: mereka yang setuju bekerja sama dengan Belanda dan yang tidak. Pangkal perpecahan terletak pada sikap yang berbeda dalam menanggapi campur tangan pemerintah terhadap hal-hal yang menyangkut hukum Islam (perkawinan dan waris) dan apakah akan diterima subsidi pemerintah kolonial untuk mengatasi krisis keuangan partai. Khawatir akan kehancuran partai yang lebih parah, Haji Agus Salim, yang mengetuai Dewan Partai, dan Mr. Mohamad Roem dalam kongres 1936 mengusulkan pembentukan Komite Barisan Penyedar. Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto yang memimpin kelompok lain menolak usul ini, dan Agus Salimbersama 29 pengikutnya dipecat dari pimpinan. Untuk sementara waktu PSII tetap mempertahankan doktrin Islam yang ekstrem dan kaku tanpa bersedia bekerja sama dengan Belanda. Tapi bagi Kartosuwirjo, kongres 1936 itu penting karena mengantarkannya ke karier politik yang lebih tinggi. Ia terpilih sebagai ketua muda PSII yang waktu itu dipimpin Wondoamiseno. Karena sikap politiknya yang radikal dan tak kenal kompromi, ia diminta kongres menulis brosur tentang hijrah. Bagi sebagian besar pimpinan PSII, hijrah tidak lebih dari istilah mengenai sikap partai terhadap pemerintah kolonial. Namun Kartosuwirjo benar-benar menyamakan pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad s.a.w. dari Mekkah ke Madinah. Dalam kaitannya dengan perjuangan politik di Indonesia waktu itu, hijrah Kartosuwirjo diartikan memisahkan diri secara total dari politik kolonialisme dan membangun umat hijrah yang bebas dari kuman-kuman penjajahan, serta membentuk kekuatan menuju Dar ul-lslam. Untuk mencapai hal itu, ia mengusulkan didirikannya lembaga pendidikan suffah (pemimpin ahli). Usul ini ditolak. Lalu, dengan bantuan pendukungnya, termasuk Kamran, ketua seksi pemuda PSII, dan Kiai Yusuf, Kartosuwirjo mendirikan kelompok yang disebutnya Komite Pembela Kebenaran (KPK). Awalnya kedudukan Kartosuwirjo terjepit, ketika segelintir anggotal pimpinan PSII - seperti dituturkan Kiai Yusuf sendiri kepada Hiroko - menuduhnya menyalahgunakan sumbangan uang dari Sumatera untuk partai. Meski tuduhan iu tidak jelas ujung pangkalnya, Karto dipecat - dan keputusan resminya disahkan dalam kongres Januari 1940 di Surabaya. Dalam waktu dua bulan sesudah itu, KPK, yang kadang-kadang disebut juga PSII II, tampil sebagai partai politik baru - dan menurut Kartosuwirjo di tiap cabang PSII terdapat KPK. Tapi pada kenyataannya hanyalah sebagian kecil Jawa Barat yang menyambut baik langkah Karto itu. Ini terbukti ketika KPK mengadakan kongres pertama (1940) di Babedahan, Garut. Waktu itu hanya enam dari bekas cabang PSII yang hadir: Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja, dan Malangbong sendiri. Di kongres inilah terjadi perbedaan pendapat pertama antara Kartosuwirjo dan Kiai Yusuf. Kartosuwirjo, yang kembali mengusulkan kepada para pengikutnya agar mengadakan hijrah total, meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah. Sebaliknya Kiai Yusuf menusulkan uan itu ditanamkan di bidang pertanian, supaya hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin Suffah. Kepada Hiroko Kiai Yusuf mengatakan, menurut pendapatnya waktu itu, saatnya belum matang untuk hijra total. Sedangkan bagi banyak ulama anggota, pindah ke Suffah - yang merupakan suatu komunitas tersendiri sulit dilaksanakan. Mereka masih terikat dengan tugastugas sosial dan keagamaan di desa masing-masing. Lembaga Suffah itu, yang didirikan 24 Maret 1940 di Bojong, Malangbong, ternyata kurang berhasil. Walaupun ia awalnya memang mampu menerapkan sistem pendidikan modern yang mengajarkan bukan hanya masalah agarna, tapi juga bahasa Belanda, astronomi, dan doktrin Islam militan. Sampai saat pendudukan Jepang tak hanya santri dari daerah berdekatan saja yang belajar, tapi bahkan ada yang dari luar Jawa. Kiai Yusuf secara tak langsung tetap mendukung Suffah, dengan mengirimkan dua anak laki-lakinya dan seorang keponakan sebagai pengajar dan pelajar. Tapi rupanya tak semua orang yang telah menyerahkan hartanya untuk Suffah siap menjalani cara hidup penuh disiplin itu. Khususnya para bekas tuan tanah mereka tak biasa hidup sama-rata-sama-rasa dan bekerja kasar, sementara perawatan kesehatan dan makanan sangat buruk. Pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu disibuki oleh ancaman serbuan jepang ke Indonesia, kekurangan waktu untuk memperhatikan perkembangan Suffah. Tak lama kemudian proyek itu ditutup: banyak muridnya yang kembali ke desa asal dalam keadaan lebih sengsara dibanding sewaktu mereka masuk Suffah. * * * Jengkel dan muak atas apa yang dianggapnya sebagai perpecahan dan oportunisme di kalangan pemimpin Islam yang mapan, Kartosuwirjo mulai membina basis pedesaan yang militan di Jawa Barat. Pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun berikutnya memberikan kepadanya kesempatan yang justru diidam-idamkannya. Ia mendapatkan dua hal sangat menguntungkan bagi usaha peletakan dasar-dasar Dar ul-lslamdi kemudian hari. Pertama, persoalan negara Islam bisa dihidupkan kembali di kalangan para tokoh Islam. Kedua, para pemuda bisa memperoleh latihan militer dari Jepang. Jepang, yang datang ke Indonesia sebagai "pembebas", berusaha benar memberi kesan sebagai "saudara tua" yang baik. Mereka menghormati para kiai dan menganggap mereka mempunyai kekuasaan de facto di pedesaan. Mereka tak mau mengusik hal itu. Tapi sikap ini justru merugikan kaum intelektual dan kelompok elite nasionalis di kota-kota, yang tak kecil peranannya membangkitkan kesadaran politik rakyat. Keadaan itu berbalik pada akhir pendudukan Jepang: kaum nasionalis justru yang mendapat angin. Dan ketika Jepang bertekuk lutut bulan Agustus 1945, golongan nasionalis dan golongan Islam jadi lebih sadar akan perbedaan di antara mereka. Luasnya kesempatan mendapat pendidikan militer yang di zaman Belanda tertutup sama sekali - penting pula peranannya dalam memperbesar harapan rakyat akan kemerdekaan. Para pemuda yang dilatih dalam pasukan Heiho pada pertengahan 1943 dijadikan bagian dari tentara Jepang, dan bulan Oktober dibentuklah pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang seluruhnya terdiri dari orang Indonesia. Berkat desakan para pemimpin Islam, pada tahun terakhir pendudukan Jepan para pemuda Islam mendapat pula pendidikan militer. Pasukan mereka disebut Hizbullah, sebagai bagian dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), federasi organisasi Islam yang dibentuk Jepang. Pada masa pendudukan Jepang ini pengaruh Kiai Yusuf di bidang politik dan agama makin meluas. Di Wanaraja Jepang mendirikan pabrik belerang. Dari sana dibuat jalan ke sebuah desa di Gunung Telagabodas, tempat kediaman para insinyur Jepang. Jalan baru ini menghidupkan perekonomian kota kecil Wanaraja, dan Kiai Yusuf semakin melicinkan jalan bagi terbentuknya Hizbullah di sana. Awal 1945, ketika Hizbullah dibentuk, Kiai Yusuf dijadikan pemimpin cabang setempat. Pasukan itu disebut Tentara Dar ul-Salam atau Esa Selamat dengan kekuatan yang cukup untuk satu batalyon. Mereka berasal dari Cicalengka, Ciparay, Majalengka, Sukabumi, Pameungpeuk, Bungbulang, Cikajang, dan Wanaraja. Tiap Jumat pagi para pelatih tentara Jepang berbaris menuju lapangan di depan madrasah Kiai Yusuf dan memberikan latihan sampai lohor. Acara pengajian hari Kamis pun sering berubah menjadi kesempatan kampanye bagi para propagandis Jepang dan Indonesia. Kegiatan politik Kartosuwirjo pada masa ini pun cukup konstruktif. Ia bekerja sama dengan para pemimpin nasionalis terkemuka dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan nasional. Pertengahan 1943, sebagai anggota Majlisul Islamil a'laa Indonesia (MIAI, federasi organisasi-organisasi Islam yang didirikan lima tahun sebelum pendudukan Jepang, sampai kemudian digantikan oleh Masyumi), ia menyerukan penghimpunan dana untuk mengatur pengumpulan dan pembagian zakat guna membantu fakir miskin dan mengurangi penderitaan rakyat akibat kesulitan ekonomi zaman perang. Badan penghimpunan dana yang disebut Bait al-Mal ini mendapat sambutan menggembirakan. Tetapi ketika berkembang ke arah yang dianggap membahayakan oleh Jepang, organisasi itu dibubarkan. Kartosuwirjo kemudian jadi komisaris Masyumi untuk Jawa Barat, dan bersamaan dengan itu masuk Hokokai - tak lama setelah badan itu didirikan, Maret 1944. Dalam Hokokai ia bekerja bahu-membahu dengan pemimpin Islam dan nasionalis terkemuka, seperti Soekarno, Hatta, Kiai Mas Mansyur, dan Abikusno Tjokrosujoso, di kantor pusatnya di Jakarta. Ia mendapat kesempatan membina kontak dan menanamkan pengaruhnya di kalangan ulama Jawa Barat. Menjelang akhir pendudukan Jepang menjadi pengawas pelatih gerilya di Banten, di samping memimpin Hizbullah di Malangbong. Kedudukan ini cukup penting bagi pengembangan gerakan DI-nya di kemudian hari. Banyak pelatih Hizbullah Malangbong yang kemudian jadi inti kekuatan DI. * * Terbentuknya DI pada masa awal Revolusi sedikitbanyak terdorong oleh dua hal. Pertama, munculnya begitu banyak laskar bersenjata dan tumbuhnya problem dalam proses penyerapan mereka ke dalam suatu tentara nasional Indonesia. Kedua, kegagalan para pemimpin Republik di meja perundingan untuk mendapatkan kedaulatan penuh yang bebas dari Belanda. Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang dibentuk pemerintah Rl tak lama setelah proklamasi kemerdekaan - dengan tugas menjaga hukum dan ketertiban - bukanlah suatu organisasi militer, meski tersusun secara hirarkis dari tingkat kabupaten sampai ke desa. Badan ini tak lebih dari suatu jaringan teritorial yang tidak ketat, dan sebagian besar terdiri dari para bekas anggota Seinendan, Keibodan, dan Peta. Organisasi lain yang anggotanya prajurit penuh dan merupakan angkatan perang adalah Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk 5 Oktober 1945 menggantikan BKR. Tujuannya pertahanan nasional, terutama menghadapi pendaratan Sekutu di Jawa pada bulan tersebut. Sejalan dengan terbentuknya tentara nasional, terutama selama bulan-bulan yang penuh bentrokan senjata antara Oktober 1945 dan pertengahan 1946, banyak organisasi pemuda paramiliter muncul secara spontan. Di Jawa Barat, di antara badan-badan itu adalah Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dipimpin Sutoko, Barisan Banteng dipimpin Rachmat Sulaiman, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dipimpin Karundeng, Pemuda Indonesia Maluku (PIM) dipimpin Pelupessy, Hizbullah, dan, yang baru dibentuk, Sabilillah, yang dipimpin Kamran, tangan kanan Kartosuwirjo. Badan-badan itu terbanyak berpusat sekitar Bandung, tempat berpangkalnya pasukan Sekutu. Pertengahan November 1945 mereka mengkoordinasikan diri ke dalam Markas Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP), dan Februari 1946 atas kemauan sendiri diubah menjadi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang mengkoordinasikan sekitar 61 kelompok politik-militer. MPPP, yang dipimpin Sutoko dan Kamran, memegang wewenang hukum atas kesatuan-kesatuan militer yang dikoordinasikannya, yang tetap berupa tentara ireguler (laskar) di luar tentara nasional. Sementara itu Kolonel Nasution, komandan Divisi Tiga tentara reguler, terus mendesak badan-badan perjuangan menggabungkan diri ke dalam tentara resmi. Hanya, mengingat terbatasnya senjata di Jawa Barat, ia menganggap pasukan-pasukan ini perlu diseleksi lebih dulu, sehingga hanya yang benarbenar memenuhi syarat bisa diterima. Usaha Nasution ini macet ketika ia terpaksa meninggalkan Bandung karena tak berdaya menghadapi pasukan Inggris. Dan Resimen Tentara Perjuangan (RTP), yang terdiri atas prajurit pilihan, harus menunggu sangat lama sebelum bisa bergabung sepenuhnya ke dalam Divisi lll (Siliwangi). Dengan demikian, para pejuang gerilya yang penuh semangat tapi masih bersahaja itu tetap berada di luar tentara nasional. Banyak anggota laskar ini yang merasa kurang dekat dengan perwira-perwira Siliwangi yang dididik Belanda, dan karena itu tetap lebih suka tak menggabungkan diri. Maka semakin banyak prajurit yang diberhentikan dari badan-badan perjuangan. Di kalangan anggota Siliwangi pun terdapat orang-orang yang kecewa akan masa depan mereka. Kelompok-kelompok inilah yang sedikit banyak merupakan umpan empuk bagi rencana Kartosuwirjo. Selama Revolusi, kegiatan Kartosuwirjo tak banyak berbeda dari para pemimpin badan perjuangan lain. Meski sangat kecewa karena bukan negara Islam yang diproklamasikan Soekarno-Hatta, dan meski menghadapi kekuatan pasukan Sekutu di Jawa, ia tetap mengerahkan kader-kadernya yang terbaik ke Bandung. Ia menjadi sekretaris ketika Masyumi menyatakan diri sebagai partai politik pada 7 November 1945, dan tahun berikutnya komisaris untuk Jawa Barat. Ia juga berhubungan erat dengan Hasjim, kepala seksi Hizbullah di pengurus pusat Masyumi ketika itu. Antara tahun 1945 dan 1947, dengan menolak usul "rasionalisasi" Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, Kartosuwirjo berhasil menempatkan pasukan Sabilillah di pedesaan dan Hizbullah di kota di bawah pengaruhnya. Perkembangan yang terjadi sampai datangnya tahun 1947 membuatnya semakin tak mempercayai kemampuan para pemimpin Rl memerdekakan Indonesia sepenuhnya melalui diplomasi. Malah perpecahan di antara pemimpin Rl menjadi-jadi. Belanda semakin memperkuat kedudukannya di daerah yang dikuasai. Dua bulan setelah Persetujuan Linggarjati ditandatangani (25 Maret 1947), Perdana Menteri Sjahrir - karena gertakan Belanda memberikan lebih banyak konsesi kepada Belanda. Semua ini mempertebal keyakinan Kartosuwirjo bahwa perjuangan bersenjata tak dapat tidak harus dilakukan jika Indonesia ingin mencapai kemerdekaan sejati. Ketidaksenangannya kepada pemerintah Republik diperlihatkannya ketika ia menolak tawaran PM Amir Sjarifuddin (yang menggantikan Kabiret Sjahrir) untuk menjadi wakil ll menteri pertahanan. Ia malah kembali ke Malangbong, memperkuat pasukan Hizbullah-nya di Priangan untuk menghadapi Aksi Militer Belanda. Aksi Militer Belanda yang pertama pecah pada 21 Juli 1947 dengan kekalahan lebih besar di pihak Republik. Di Jawa Barat, semua kota penting jatuh ke tangan Belanda. Meski Republik sudah siap menghadapi kemungkinan aksi Belanda itu, persenjataan mereka tidak cukup. Beberapa minggu kemudian kedua pihak setuju menghentikan tembak-menembak, atas tekanan PBB. Tapi Belanda telah menduduki banyak daerah yang mereka anggap vital. Gencatan senjata 29 Agustus 1947 menetapkan Garis van Mook yang memisahkan daerah Republik dengan daerah yang bisa diduduki Belanda. Dan daerah Belanda itu umumnya kaya bahan baku, sedang yang masuk Republik ialah daerah paceklik di Jawa Tengah, Keresidenan Banten di Jawa Barat, sebagian Jawa Timur, dan bagian Sumatera yang miskin. Mengingat kemunduran itu, Kartosuwirjo mengadakan konperensi November 1947 di Gunung Cupu, perbatasan Garut-Tasikmalaya, yang memutuskan mendirikan Dewan Pertahanan Umat Islam di Garut untuk mengkoordinasikan kesatuan-kesatuan Hizbullah dan Sabilillah. Untuk mengatur gerakan itu dibentuk Majelis Umat Islam yang berpusat di Tasikmalaya. Tanpa menghiraukan gencatan senjata Kartosuwirjo dan Hizbullah-nya bertekad merebut kembali daerah Priangan Selatan yang dikuasai Belanda. Kurangnya dukungan Amerika Serikat yang efektif pada Indonesia, dan lemahnya posisi militer Republik, menyebabkan Rl harus mengalah lebih banyak ketika tercapai Persetujuan Renville, 19 Januari 1948. Daerah Republik diperkecil menjadi kurang dari sepertiga Pulau Jawa. Hasil perundingan ini menimbulkan situasi lebih buruk di Jawa Barat. Terjadilah kemudian hijrah itu. Jauh dari pengertian Kartosuwirjo, pasukan TNI di Jawa Barat harus diungsikan ke daerah Rl, dan wilayah Sunda yang penting ditinggalkan buat Belanda. Hijrah Divisi Siliwangi membuat penduduk jawa Barat merasa seperti dianaktirikan oleh Rl. Sarjana ilmu politik Amerika, George McT. Kahin, yang menuliskan penelitiannya tentang Indonesia di masa revolusi dalam buku termasyhur Nationalism and Revolution in Indonesia, memperkirakan 35.000 prajurit Siliwangi ikut hijrah, sementara sekitar 4.000 orang tetap bertahan di tempat. Tapi dari keterangan penduduk setempat kepada Hiroko, perbandingan antara mereka yang hijrah dan yang tidak ialah empat banding satu. Tampaknya, baik TNI maupun laskar secara spontan menentang hijrah. Menurut keterangan, paling sedikit satu batalyon TNI menanggalkan seragamnya dan tetap berada dekat kota-kota besar untuk membantu laskar. Di antara mereka termasuk, antara lain, Batalyon Sugiharto dan Brigade l/Tirtayasa. Sebagian besar anggota Hizbullah - baik yang jadi anggota Resimen Tentara Perjuangan maupun yang tidak - juga tetap di tempat. Sedangkan dari Sabilillah tak seorang pun mematuhi Persetujuan Renville. Juga beberapa kesatuan lain, termasuk dua batalyon di bawah pimpinan Jenderal Fatah. Untuk memperkukuh sukses militernya di Jawa Barat, Belanda mendirikan pemerintah boneka Negara Pasundan pada 26 Februari 1948. Perkembangan ini penting, karena gerakan DI didirikan waktu itu bukan hanya untuk mempertahankan Jawa Barat secara militer terhadap Perjanjian Renville. Melainkan juga - atas nama Islam - menentang berkuasanya kembali Belanda seperti diwujudkan dalam Negara Pasundan itu. Pada 10 dan 11 Februari 1948, diadakanlah apa yang kini dianggap sebagai "konperensi DI" yang pertama - di Desa Pangwekusan, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Para pemimpin Islam tampaknya tidaklah berhasrat mendirikan suatu negara Islam dengan segera ataupun mengorganisasikan dan mengkoordinasikan semua sisa pasukan bersenjata di bawah kendali mereka. Pertemuan itu melahirkan suatu koordinasi yang tidak ketat atas berbagai kelompok perjuangan Islam dan nonlslam, yang strukturnya mirip MPPP yang lama. Nama DI sudah dipakai, ketika itu, tapi hurufhuruf DI tidaklah dimaksudkan sebagai singkatan Dar ul-lslam - melainkan Daerah Igerakan tersebut, yang tujuan utamanya merebut kembali Jawa Barat dari Belanda. Menurut Kiai Yusuf, yang dimaksud Daerah I ialah daerah-daerah pertahanan penting, tempat terdapatnya sejumlah besar pasukan Indonesia, sedangkan Daerah ll (D ll) ialah daerah yang dikuasai Belanda, tempat pasukan pro-Republik dalam keadaan terpencar-pencar. Dalam pertemuan itu segera ditentukan struktur organisasi gerakan perlawanan sementara, yang dipertegas dalam konperensi kedua dua bulan kemudian di Cipeundeuy. Dalam struktur itu gerakan itu ternyata lepas dari Masyumi (partai pemerintah yang waktu itu bertanggung jawab atas pelaksanaan Persetujuan Renville) dan pengaturan gerakan dilakukan di bawah pimpinan Majelis Islam. Bulan-bulan berikutnya, yang diperdebatkan para anggota kelompok itu tampaknya status gerakan mereka terhadap Rl. Kelompok Islam pengikut Kiai Yusuf menganggap, gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik kesatuan adalah langkah yang terlalu jauh. Tapi perbedaan pendapat semacam ini diselesaikan dengan kembali ke tempat masing-masing untuk memusatkan perhatian menghadapi Belanda. Ketika itulah TII didirikan, dan Kartosuwirjo hanya dengan kelompok Hizbullah Tasikmalaya yang dipimpin Oni. Dalam perkembangan kemudian Oni diangkat sebagai "perdana menteri Negara Islam". Kartosuwirjo terus menyiapkan rencananya dengan mengadakan konperensi ketiga di Cijoho, bulan Mei. Dewan Fatuz (Dewan Pertimbangan Agung) didirikan, berikut Dewan Imamah (Dewan Menteri) yang dipimpin Karto sendiri dan mempunyai 10 kementerian. Dipersiapkan pula Kanun Azasy (UUD) untuk membentuk Jumhuriah (Republik) yang dipimpin seorang imam dan berdasarkan Al Quran dan Al Hadis. Pada 5 Mei 1948, ia memproklamasikan dirinya sebagai imam. Dan meski tidak lagi mengakui Republik Kesatuan, "pemerintah" DI tetap pro-RI dan bukan pro-Belanda. Daerah yang dapat dikuasai tentara Islam-nya adalah pegunungan Jawa Barat, tempat kepentingan ekonomi Belanda tak begitu berarti. Aksi Militer ke-2, 19 Desember 1948, dan berantakannya pemerintah Rl di Yogya karena para pemimpinnya ditangkap Belanda, merupakan titik balik bagi Rl dan "pemerintah" DI. Bulan-bulan berikutnya DI mulai menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Rl. Para kiai dan ulama Jawa Barat yang setia kepada Rl, karena terdesak serangan Belanda yang gencar kini bergabung dengan DI atau membantu operasinya - karena DI-lah yang mereka anggap inti perlawanan rakyat yang sesungguhnya. Dan sebagaimana lazimnya di zaman kacau, para perampok pun ikut memancing di air keruh dengan mengatasnamakan DI. Bertambahnya pengikut menjadikan taktik DI semakin tak kenal kompromi. Ketika Siliwangi masuk kembali ke Jawa Barat, awal 1949, mereka sering masuk perangkap DI. Menerobos daerah pegunungan malam hari untuk menghindari Belanda, tentara Siliwangi tak tahu perubahan sikap DI terhadap Rl. Tanpa curiga mereka menerima undangan makan tentara DI, dan akhirnya masuk perangkap berikut senjata mereka. Menurut beberapa keterangan yang diperoleh Hiroko, sikap DI yang menentang Siliwangi itu mungkin disebabkan kekhawatiran Kartosuwirjo: kalau operasi militer Siliwangi sukses di Jawa Barat, kekuasaan Rl akan pulih di situ. Proklamasi Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1948, di Desa Cisampak, Kecamatan Cilugalar, Kabupaten Tasikmalaya, agaknya merupakan hasil pertimbangan Kartosuwirjo yang cermat. Akibat persetujuan Roem - van Royen (7 Mei), pemerintah Rl dikembalikan ke Yogyakarta (Juli), sementara pada 1 Agustus persetujuan gencatan senjata ditandatangani Belanda dan Rl. Perlawanan gerilya dan sikap nonkooperasi penduduk makin meningkat. Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda terpaksa setuju membicarakan syarat-syarat pemindahan kekuasaan dengan Rl dalam Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Dan bagi Kartosuwirjo, perubahan situasi yang cepat ini juga memberi isyarat: DI harus segera menentukan sikap. Proklamasi Negara Islam Indonesia itu agaknya merupakan reaksi pula atas surat yang dikirimkan kepada Kartosuwirjo dua hari sebelumnya, 5 Agustus. Datangnya dari menteri penerangan Rl, M. Natsir, yang juga pimpinan Masyumi, yang menyatakan keinginan pemerintah untuk mencegah perpecahan yang lebih parah. Sudah lama diketahui sikap Kartosuwirjo yang menentang pembentukan negara federal seperti diusulkan Belanda. Tapi pada kenyataannya, proklamasi Nll tampak sebagai tuntutan otonomi wilayah. Jadi, akan muncul suatu negara tersendiri di samping Rl dalam suatu federasi yang lebih besar sebagai "negara dalam negara" - bila Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Satu hal yang pasti: proklamasi Kartosuwirjo melahirkan dukungan moril yang lebih besar dari kelompok-kelompok Islam Jawa Barat. Ketika 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Rl, DI menguasai sebagian besar wilayah pegunungan di selatan provinsi itu, dari Banten ke Priangan. Namun, bila Kartosuwirjo benar-benar bermaksud membentuk satu negara bagian dalam federasi yang lebih besar, peluang itu sudah tertutup ketika Rl membentuk negara kesatuan dengan membubarkan semua negara bagian ciptaan Belanda. Dengan demikian Kartosuwirjo dan DI-nya dibiarkan tak punya pilihan lain, kecuali meneruskan perlawanan terhadap Rl yang dianggapnya "negara sekuler". Semua orang yang diwawancarai Hiroko praktis menyebutkan dua hal tentang DI-TII/Kartosuwirjo. Mereka mengakui, tujuan DI memang benar, tapi caranya bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Mereka juga sependapat, karena sifat ambisius dan agresif Kartosuwirjo, gerakan DI tidak mendapat dukungan dan tidak bisa bertahan lama. * * * Sebuah gejala yang sangat aneh dan paling menarik dari semua permasalahan DI Kartosuwirjo adalah ini: Sang imam ternyata sedikit sekali mendapat pendidikan Islam. Ia tak pernah belajar di pesantren. Pengetahuan Islam sebagian besar didapatnya dari buku-buku Belanda, ditambah belajar tasawuf dari beberapa kiai di Priangan, termasuk Kiai Mustafa Kamil, Kiai Ramli, dan Kiai Yusuf. Tapi kekurangannya ini diimbangi kelebihan lain. Meski lebih lama tinggal di kota, Kartosuwirjo dianugerahi kemampuan memimpin desa secara karismatis. Pikirannya yang tajam, kepandaiannya bicara, terlebih lagi pribadinya yang menonjol, menutupi kekurangannya: suara yang kecil dan lemah serta tampangnya yang tak menarik. Gaya bicaranya yang tak kenal kompromi sering menggugah nurani pendengarnya. Ia jelas memiliki sifat-sifat yang di kalangan orang Jawa dikenal sebagai "jago". Orang seperti ini - menurut anggapan penduduk desa yang lugu - sangat yakin akan tujuannya, dan tak takut kepada siapa pun kecuali Tuhan. Orang penuh karisma seperti ini menimbulkan rasa segan pada orang lain. Di kalangan petani desa yang lugu dan tak berpendidikan, yang sudah lama berharap munculnya Ratu Adil, kepribadian Kartosuwirjo mendapat tempat. Menurut seorang bekas pengikutnya, Kartosuwirjo mengaku menerima perintah Tuhan untuk menjadi imam khalifah di dunia. Para pengikutnya pun lalu menyebutnya Imam, bukan Kiai. Mungkin benar Kartosuwirjo telah mengeksploatasikan masyarakat desa yang bersahaja, lugu, dan buta huruf. Tapi tak banyak diketahui bagaimana ia memupuk perasaan antikolonialismenya. Yang bisa diketahui cuma pengetahuan itu didapat selama jadi pembantu pribadi Tjokroaminoto. Ketika itu ia banyak belajar politik dan pergerakan. Keputusannya kembali ke Bojong, Malangbong, setelah sakit, di sisi lain besar pengaruhnya pada sikap radikalnya di kemudian hari. Desa itu tak jauh letaknya dari jalan raya Tasikmalaya - Bandung, dan banyak digunakan tuan-tuan Belanda dari onderneming di Priangan Timur. Di sana pulalah ia banyak menyaksikan hal-hal serba pincang dalam kehidupan rakyat desa yang diperas para pejabat perkebunan Belanda itu. Sementara itu, dengan ikut sertanya ia secara aktif dalam kampanye Bait al-Mal di seluruh Jawa, berubah pulalah peranannya dari pemimpin politik menjadi pemimpin sosial. Keteguhannya akan cita-cita Islam terlihat dalam cara hidup yang dilaksanakannya di Suffah. Konsekuen mengikuti teladan Nabi Muhammad s.a.w., ia selalu berpakaian sederhana, dan ikut kerja kasar meski hanya sebentar. Sebagai orang tasawuf sejati, ia menggunakan waktu berjam-jam untuk berzikir. Penduduk desa menghubungkan kemampuan Kartosuwirjo mengumpulkan pengikut dengan apa yang mereka sebut kekuatan gaib yang dimilikinya. Hal ini penting, karena berbagai kisah tentang kekuatan gaibnya itu membantunya bertahan begitu lama dan dengan leluasa. Penduduk menggambarkan pengikut Kartosuwirjo terdiri atas orang kecil, orang bodoh, orang merah (komunis), dan orangJawa - seakan hendak menyatakan tak ada orang Sunda di antara mereka. Tapi nyatanya komposisi pimpinan DI sangat berbeda. Para pembantu dekat, atau apa yang disebut "menteri-menteri DI", umumnya orang-orang yang sudah dikenalnya sejak zaman Suffah dan KPK. Mereka termasuk Kamran, Ateng Setiawan, dan murid-muridnya, seperti Zainal Abidin, Tomi, Oni, Bakar (bupati DI di Garut), dan Sudjadi ("menteri keuangan DI"). Mereka sebagian besar orang Sunda dari Garut dan Tasikmalaya. Sementara itu kelompok satria bertanggung jawab melindungi para pemimpin tertinggi dari ancaman luar. Para satria ini terdiri dari prajurit bekas angota Hizbullah Kartosuwirjo di zaman pendudukan Jepang. Sedangkan pasukan TII, yang biasa terdiri atas para petani dan perampok, ada yang datang dari Jawa Tengah. Jenderal Ibrahim Adjie, yang menjadi panglima Siliwangi ketika Kartosuwirjo tertangkap, berpendapat bahwa desas-desus tentang kekuatan gaib Kartosuwirjo semakin dipercaya karena ia selalu menjauh dari sebagian besar pengikut. Ada kemungkinan, pimpinan DI itu memanfaatkannya sebagai "tameng" terhadap anak buahnya, dengan maksud mereka tak mudah berhubungan dengan sang imam. Tujuannya barangkali taktis: Kartosuwirjo melarang juga dirinya dipotret, sehingga anggota DI/TII yang bergerak di lapangan, apalagi para pemburunya, tak pernah mengenal wajahnya. Ada yang mengatakan, untuk bertemu Imam orang harus melalui tujuh lapis penjaga yang terdiri atas 300 prajurit DI/TII. Yang tahu di mana Kartosuwirjo berada hanya para pembantu terdekatnya. Ada pula yang percaya ia bisa menyamar, menghilang, dan kebal peluru. Semua ini menjelaskan mengapa ia selama lebih dari sepuluh tahun bisa menghindar dari kejaran TNI. Toh ia berbuat satu kesalahan besar yang menyebabkan baian terbesar masyarakat memusuhinya: membiarkan anak buahnya melancarkan teror di mana-mana, terutama di pedesaan. Teror ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan politik ataupun cita-cita Islam, dan sampai akhir 1950-an DI/TII tak lebih dari organisasi teroris yang tak didukung rakyat. Kendati begitu, beberapa kelemahan pemerintah Jakarta 1950-an menyebabkan tindakan tegas terhadap DI tak dapat diambil, dan ini membantu makin luasnya gerakan itu. Masyumi, yang antara 1950 dan 1953 duduk dalam pemerintahan, lebih suka masalah DI diselesaikan lewat perundingan. Mereka khawatir tindakan tegas pemerintah akan menyebabkan merosotnya dukungan rakyat pada mereka dalam pemilihan umum nanti. Pihak milite pun tak sampai hati berbunuhan dengan saudara sebangsa, meski kurang senang dengan sikap pemerin tah. Padahal, dari segi militer, masa 1951 - 1953 merupakan saat terbaik untu menyelesaikan masalah DI TII: Indonesia waktu itu belum dikacaukan berbaga pemberontakan lain. Kartosuwirjo baru bisa di lumpuhkan pada 4 Juni 1962 Tapi bagaimana ia ditangkap dan di mana, keteranganny simpang-siur. Pihak tentan menyebutkan, ia tertangkap di Gunung Goger di Priangar Tengah, oleh pasukan elit Kujang dari Siliwangi. Sumber lain menyebutkan, ia dipergoki patroli tentara di Gunung Geber, antara Bogor dan Cianjur. Sementara itu keterangan yang diperoleh Hiroko menyebutkan, ia tertangkap di Gunung Haruman dekat Leles, Garut, dalam operasi pagar betis. Selama dua bulan berikutnya ia diinterogasi, dan 18 Agustus 1962 ia dan beberapa pengikutnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Pelaksanaan hukuman dilakukan secara rahasia - 12 September 1962. * * * Ketika Kartosuwirjo dipecat dari PSII tahun 1940 Kiai Yusuf pun mengundurkan diri dari partai dan membantu dia dengan KPK dan lembaga Suffah-nya. Tapi setelah itu Yusuf tak pernah aktif lagi dalam politik. Ketika pertengahan 1948 perselisihannya dengan Kartosuwirjo makin menjadi, banyak pengikut Yusuf di Hizbullah memilih tetap ikut DI/TII Kartosuwirjo- di antaranya dua sepupunya. Sebagian besar pemuda desa lainnya, yang sudah dilatih militer oleh Jepang dan masuk TNI, ikut hijrah ke Yogya. Yang tetap mengawal Yusuf di Cipari adalah pasukan Hizbullah, yang terdiri atas anak-anak tanggung yang baru belajar memegang senjata, di samping sejumlah pengungsi dari Sindangheula. Pasukan Belanda, yang ketika itu ditempatkan di Bakanloa - 1 km sebelah selatan Cipari - tak tahu betul sikap penduduk terhadap mereka. Karena itu mereka memberikan latihan militer kepada penduduk untuk mempertahankan diri terhadap DI/TII. Seorang perwira Belanda di Garut bahkan berjanji mengirimkan senjata dan peluru. Belanda sungguh tidak tahu sama sekali sikap Kiai Yusuf, yang ketika Negara Pasundan dibentuk mereka tawari jabatan "menteri agama" - yang ditolaknya dengan alasan "kesehatan". Ketika terjadi Aksi Militer Belanda ke-2, dan ketika Siliwangi kembali ke Jawa Barat, awal 1949, Cipari mempersiapkan diri lebih baik di bidang militer. Prajurit TNI yang kembali ke desa dilaporkan kepada Belanda sebagai siswa santri yang sedang berkeliling untuk belajar di pesantren desa itu. Kiai Yusuf memimpin pasukan Hizbullah-nya yang baru diperkuat, dan dari markas besarnya di Cipari mengatur gerakan gerilya pasukan-pasukan di Cibatu, Pasanggrahan, dan Sukawening. Sasaran mereka: garnisun Belanda di Cibatu. Operasinya selalu dilakukan malam hari, dipimpin prajurit profesional Siliwangi. Cukup lama Belanda tak dapat mengetahui siapa pemimpin gerilya yang sering mengganggu mereka itu, dan letak markasnya. Kiai Yusuf dan keluarga, yang sudah berpengalaman melawan Belanda sejak zaman penjajahan, memperlihatkan sikap pura-pura tunduk. Dan ketika Belanda mengetahui siapa pemimpin gerilya itu, Yusuf masih bisa lolos dari pemeriksaan perwira Belanda yang ditemuinya di jalan. Ketika kemudian operasi gerilya makin gencar, dan dikeluarkan perintah menangkap Kiai Yusuf, ia beralih ke gerakan bawah tanah dalam arti kata sesungguhnya. Di sebidang tanah kering, di kebun pisang, digali lubang menuju ruangan seluas 2 m2 di bawah tanah. Di atas, lubang ditutupi rumput kering, dan tak seorang pun penduduk diberitahu. Selama siang hari Kiai Yusuf dan seorang muridnya, Profesor Musaddad (salah seorang sesepuh NU kini), tinggal di sana, dan baru keluar malamnya. Untuk menghadapi keadaan darurat digali sebuah lubang lagi tepat di bawah tempat tidur kayu di dalam rumah. Senjata - yang dicuri atau dibeli dari Belanda ditinggalkan Jepang, atau dibawa TNI - disimpan di rumah seorang janda penduduk desa, karena dialah orang paling akhir yang akan dicurigai Belanda jika ada apa-apa. Karena kegiatan gerilya ini Desa Cipari termasuk yang sering diinspeksi Belanda. Tapi pada suatu ketika penyakit cacar menyerang Cipari, dan beberapa penduduk terpaksa dibalut perban selama sebulan. Keadaan ini selanjutnya dimanfaatkan Kiai Yusuf dengan memerintahkan agar penduduk tidak membuka perban, meski sudah sembuh. Di jalan masuk ke desa dipasang papan bertuliskan: "Ada wabah cacar di desa ini, jangan masuk". Suatu hari, 1949, operasi gerilya-baru direncanakan untuk sebelas hari kemudian. Surat-surat perintah sedang disebarkan, dan senjata pun lagi dibersihkan. Tiba-tiba Belanda menginspeksi Cipari. Biasanya mereka datang lewat gerbang desa tapi hari itu enam perwira, seorang di antaranya asal Ambon, masuk dari jalan pematang sawah. Ketika itu sudah hampir magrib penduduk sedang sibuk memandikan anak atau memasak. Adik perempuan Kiai Yusuf, yang ikut mengalami hal ini, berkisah, "Saya sedang ngobrol dengan ipar perempuan saya di rumahnya, dekat pintu masuk desa. Tiba-tiba saya lihat seorang abang ipar saya berjalan mengangkat tangannya ke atas, digiring enam perwira Belanda. Saya tahu, abang ipar saya itu menyembunyikan seragam TNI dalam sarung yang dililitkan di pundaknya. Saya lari ke luar rumah dan menyambut Belanda-Belanda itu dengan memperlihatkan wajah seramah mungkin. Saya berusaha mengajak mereka ke rumah ipar perempuan saya, sementara ia keluar memberitahu Kiai Yusuf. Tapi sia-sia." "Hari itu Kiai Yusuf kebetulan sedang bersantai, tak masuk lubang persembunyian. Dekat rumahnya di depan masjid ia mendengar orang berteriak, 'Belanda datang di Cipari!' Tapi dikiranya yang dimaksud Cipari Babakan, desa sebelah timur. Merasa masih cukup waktu memanggil anaknya (anggota TNI yang sedang cuti), ia lari lewat pekarangan ke lubang persembunyian. Tapi Belanda sudah memergokinya." "Sesampai di rumah, saya lihat dua abang saya, lalu Prof. Musaddad, ibu saya, dan adik-adik perempuan saya, semuanya sudah di dalam. Tak seorang pun diizinkan masuk oleh Belanda. Jadi saya keliling rumah, mencoba berbuat sesuatu. Belanda mencari dokumen dan senjata. Mereka menyita enam mesin ketik, semua dokumen, dan tujuh senapan. Saya suruh keponakan saya pergi diam-diam ke rumah janda tempat penyembunyian senjata, agar menyembunyikan ke-20 senjata dan peluru di pekuburan dan empang ikan. Kiai selalu memberitahu saya jika terjadi apa-apa atas dirinya, dan ia tak bisa melanjutkan perjuangan, sayalah yang harus melanjutkannya," demikian adik perempuan Kiai. "Ketika ayah dan abang tertua saya ditahan Belanda karena peristiwa Cimareme, 30 tahun yang lalu, Kiai Yusuf-lah yang melanjutkan perjuangan mereka. Kini rupanya giliran saya. Ketika Kiai dan para kepala keluarga dibawa Belanda, anak-anak desa yang kehilangan orangtuanya - karena DI dan revolusi menangis dan berteriak: 'Jangan tunggu sampai besok pagi, tapi kembalikan mereka malam ini juga.' Abang saya baik terhadap anak-anak itu. Selalu memperhatikan mereka, memberi mereka makan dan pakaian. Doa anak-anak tak berdosa ini selalu didengarkan Tuhan." Di garnisun Belanda di Bakanloa, para tahanan diperlakukan dengan baik. Yang pertama diinterogasi ialah keponakan Kiai, anggota TNI yang sedang pulang ke desa. Ia berkisah, "Saya katakan kepada mereka, senjata yang disita itu hanya untuk mempertahankan diri terhadap DI, bukan Belanda. Dan, ya Allah! Engkau benar-benar melindungi kami! Senjata-senjata itu, yang sudah dibersihkan dan digosok mengkilap pagi harinya, ketika itu tampak kotor dan berkarat. Bintik merah terdapa di seluruh bagian senapan itu. Bagian dalamnya juga karatan, seakan-akan sudah lama tak dipakai dan barangkali tak akan bisa dipakai untuk waktu lama. Dan ketika Belanda mencoba membaca dokumen yang disita, tinta di kertasnya kotor, tulisannya tak bisa dibaca. Allah Yang Mahakuasa benar-benar menolong kami. "Kepandaian Dr. Musaddad berbahasa Belanda juga menolong. Ia bicara dengan perwira-perwira Belanda itu. Lalu kami diberi makan, dan diizinkan salat isya. Sekitar pukul sembilan malam, tak lama setelah kami salat, garnizun menerima telepon dari Garut yang memerintahkan kami dibebaskan segera. Ini sungguh pertolongan Allah! Kiai Yusuf sendiri bahkan mengira ia tak akan pernah pulang lagi. Belakangan diketahui, rupanya ada seseorang yang memberitahu para pendukung Kiai di Garut. Mereka inilah yang mendesak pos militer Belanda di sana. "Kiai memang orang yang jujur dan baik hati. Ia tak pernah menilai orang dari asal usulnya, melainkan amal perbuatannya. Ia membantu orang Jepang ketika menyerah kepada Sekutu, dan menghentikan penduduk membunuhi orang Cina ketika pemerintah Belanda bertekuk lutut. Maka di antara pengikutnya terdapat orang Jepang, orang Cina, orang Belanda. Tapi yang sungguh aneh, siapa yang memberitahukan ditangkapnya Kiai pada hari itu ke Garut? Ketika itu tak ada orang bepergian malam hari, karena takut DI. Satu-satunya telepon dekat Bakanloa berada di pos militer Belanda itu sendiri. Allah Mahakuasa pasti telah berbuat sesuatu." "Sebelum tengah malam, kami dipulangkan ke rumah. Saya tak pernah bisa lupa betapa rasa kaget terpancar di wajah keluarga saya melihat kami kembali. Kami semua mengucap syukur alhamdulillah, dan kami bersumpah akan melanjutkan perjuangan demi dakwah Islam. Barang-barang kami yang disita tak hanya dikembalikan utuh, tapi Belanda juga berjanji menempatkan penjagaan di Cipari untuk menghadapi gangguan DI. "Hanya beberapa hari sebelum Konperensi Meja Bundar selesai (dan Belanda setuju mengakui kedaulatan Rl), kami mengundang para perwira Belanda dari Bakanloa untuk ikut berlebaran di desa. Untuk pertama kali sejak kemacetan Persetujuan Renville, semua anggota TNI di Cipari mengenakan seragam militernya dan menyanyikan Indonesia Raya di depan masjid. Tentara Belanda terheran-heran melihat begitu banyak penduduk yang jadi anggota TNI. Kami merasa bangga. Perwira-perwira Belanda yang simpatik itu pun ikut makan bersama kami untuk akhir kalinya, sebelum kembali ke negeri mereka." Pembebasan Kiai Yusuf barangkali ada kaitannya dengan kekhawatiran Belanda akan timbulnya kemarahan para petani pengikutnya. Kekuasaan Belanda yang disoroti dunia internasional saat itu sedang genting. Berhadapan dengan petani merupakan hal yang sangat dikhawatirkan Belanda, karena operasi mereka di Jawa Barat membantai rakyat merupakan isu internasional. Dan bagi penduduk desa, pembebasan Kiai dan para penikutnya itu semata-mata mukjizat, bukti pertolongan Tuhan dan berkah iman.